Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Perangkat Kata "Bukan" atau "Non": Ketika Identitas Direduksi dan Distigmatisasi

23 Juli 2024   06:18 Diperbarui: 23 Juli 2024   06:49 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Alternatif Bahasa yang Lebih Inklusif

Penggunaan bahasa yang lebih netral dan informatif. Bahasa yang netral tidak membuat perbandingan atau menyiratkan hierarki antara identitas yang berbeda. Misalnya, daripada menggunakan istilah "non-Islam," kita bisa menggunakan istilah yang lebih deskriptif seperti "orang yang beragama Kristen," "orang yang beragama Hindu," atau "orang tanpa afiliasi agama." Menurut Deborah Tannen (1990), dalam You Just Don't Understand: Women and Men in Conversation, bahasa yang netral dan deskriptif membantu menciptakan komunikasi yang lebih efektif dan inklusif.

Menghindari penggunaan kata "non-" di depan identitas tertentu. Ini adalah langkah penting dalam menciptakan bahasa yang lebih inklusif. Alih-alih mendefinisikan identitas berdasarkan apa yang mereka bukan, kita dapat fokus pada apa yang mereka adalah. Misalnya, daripada mengatakan "non-Papua," kita bisa mengatakan "orang dari luar Papua" atau "penduduk migran." Menurut Judith Butler (2004), menghindari label eksklusif dapat membantu mengakui dan menghargai keberagaman identitas.

Menekankan keragaman dan kompleksitas identitas. Ini adalah kunci untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan toleran. Alih-alih menggunakan istilah yang mereduksi identitas, kita bisa menggunakan bahasa yang menghargai dan mencerminkan keragaman tersebut. Misalnya, daripada menggunakan istilah "non-pribumi," kita bisa menggunakan "beragam latar belakang etnis" atau "komunitas multi-etnis." Kenji Yoshino (2006), dalam Covering: The Hidden Assault on Our Civil Rights, menekankan pentingnya mengakui dan merayakan keragaman identitas. Hal ini dapat membantu memerangi diskriminasi dan mendorong inklusi sosial yang lebih besar.

Penggunaan kata "non-" atau "bukan" dalam konteks identitas lebih dari sekadar pilihan linguistik. Ini adalah cerminan dari dan kontribusi terhadap struktur kekuasaan sosial yang ada. Hal ini dapat meminimalisir dan mereduksi kekayaan identitas seseorang, memperkuat stereotip negatif, dan memperdalam ketidaksetaraan sosial. Selain itu, penggunaan kata-kata ini dapat memperburuk perasaan keterasingan dan stigma, serta menghambat pengakuan terhadap keragaman.

Untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil dibutuhkan sikap kritis untuk meninjau kembali penggunaan istilah-istilah tersebut dan mencari cara yang lebih positif untuk mendefinisikan identitas. Mengadopsi bahasa yang lebih inklusif adalah langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara. 

Menggunakan bahasa yang lebih netral dan informatif, menghindari penggunaan kata "non-", dan menekankan keragaman serta kompleksitas identitas dapat mengurangi stigma dan diskriminasi. Mari kita gunakan bahasa dengan hati-hati dan penuh kesadaran akan dampaknya, agar menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan toleran. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun