Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Perangkat Kata "Bukan" atau "Non": Ketika Identitas Direduksi dan Distigmatisasi

23 Juli 2024   06:18 Diperbarui: 23 Juli 2024   06:49 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Istilah seperti "non-pribumi" atau "non-Papua" berisiko memicu stigma dan diskriminasi terhadap kelompok yang bersangkutan. Penggunaan kata "non-" dapat memisahkan dan mengategorikan kelompok minoritas, sehingga membuat mereka rentan terhadap prasangka dan perlakuan tidak adil. Istilah ini sering digunakan untuk menandai perbedaan dan ketidakcocokan dengan norma dominan, yang pada gilirannya memperkuat hierarki sosial yang ada dan memperburuk ketidakadilan sosial.

Menurut Erving Goffman (1963), dalam Stigma: Notes on the Management of Spoiled Identity, stigma adalah proses sosial ketika seseorang diberi label negatif yang mengurangi statusnya dalam masyarakat. Dengan menggunakan istilah "non-", kelompok mayoritas secara tidak langsung menandai kelompok minoritas sebagai "lain" atau "berbeda", yang dapat memperkuat prasangka dan memperdalam diskriminasi. Studi oleh Lorraine V. Aragon (2000), Fields of the Lord: Animism, Christian Minorities, and State Development in Indonesia, menyoroti bagaimana kategori identitas yang didefinisikan secara eksklusif dapat memperburuk ketegangan etnis dan agama.

Penggunaan istilah "non-" dapat memperkuat prasangka dan memperburuk perlakuan diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Istilah ini sering digunakan untuk menandai siapa yang termasuk dalam kelompok "kami" dan siapa yang berada di luar kelompok tersebut. Ini menciptakan garis batas sosial yang dapat mengarah pada eksklusi dan marginalisasi. Menurut Eduardo Bonilla-Silva (2006), dalam Racism without Racists: Color-Blind Racism and the Persistence of Racial Inequality in America, penggunaan istilah eksklusif dan kategorisasi sosial adalah bentuk subtel dari rasisme yang tetap bertahan dalam masyarakat modern.

Dampak Penggunaan Kata "Bukan" atau "Non"

Dampak terhadap individu dan kelompok. Penggunaan kata "non-" dalam konteks identitas berdampak langsung pada individu dan kelompok yang diidentifikasi dengan istilah tersebut. Label "non-" sering meminimalkan dan mereduksi identitas seseorang, yang dapat memengaruhi harga diri dan kesejahteraan psikologisnya.
Menurut Claude M. Steele (2010), dalam Whistling Vivaldi: How Stereotypes Affect Us and What We Can Do, individu yang diberi label dengan istilah yang berkonotasi negatif cenderung mengalami stereotype threat, yaitu kecemasan yang timbul karena takut memenuhi stereotip negatif yang melekat pada identitasnya. 

Hal ini dapat mengurangi kinerja akademis, produktivitas, dan kesejahteraan emosional. Selain itu, kelompok yang diidentifikasi sebagai "non-" sering merasa diasingkan dan tidak diakui dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas. Lorraine V. Aragon (2000)  menyatakan bahwa melabeli orang sebagai 'bukan' dapat memperburuk perasaan dikucilkan dan terpinggirkan, terutama dalam masyarakat multikultural.

Dampak terhadap pemahaman masyarakat tentang identitas dan keragaman. Penggunaan kata "non-" memengaruhi cara masyarakat memahami identitas dan keragaman. Istilah ini sering menciptakan dikotomi "kami" versus "mereka", yang menguatkan perbedaan dan mempersempit pemahaman tentang keragaman. 

Judith Butler (2004) menyatakan bahwa reduksi linguistik identitas menjadi oposisi biner sering mengarah pada pemahaman yang simplistis dan ekslusif tentang keragaman. Dampaknya adalah bahwa masyarakat cenderung melihat identitas sebagai kategori yang kaku dan terpisah, bukan spektrum yang kaya dan beragam. 

Ini dapat mengarah pada stereotipisasi dan generalisasi yang berlebihan, sehingga kelompok minoritas dilihat hanya melalui lensa perbedaan mereka dengan kelompok mayoritas. Karena itu, penggunaan kata "non-" menghambat pemahaman yang lebih mendalam tentang identitas dan keragaman dalam masyarakat.

Dampak terhadap terciptanya lingkungan yang inklusif dan toleran. Penggunaan istilah "non-" juga berdampak negatif terhadap upaya menciptakan lingkungan yang inklusif dan toleran. Istilah ini dapat memperkuat hierarki sosial dan diskriminasi, yang berlawanan dengan nilai-nilai inklusivitas dan kesetaraan. 

Menurut Susan Fiske (2013), melabeli individu dengan istilah 'non-' dapat memperkuat stereotip sosial dan berkontribusi pada fenomena psikologis 'othering', yang menjauhkan dan merendahkan mereka yang dilabeli. Proses ni membuat kelompok minoritas merasa tidak diterima dan tidak dihargai dalam masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun