Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghargai Komitmen: Mempertahankan Kesetiaan Suami Istri di Tengah Cobaan

20 Juli 2024   04:38 Diperbarui: 20 Juli 2024   06:06 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam beberapa dekade terakhir, meningkatnya kasus perceraian di kalangan pasangan Katolik menjadi fenomena yang meresahkan. Data statistik menunjukkan peningkatan yang signifikan, mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh pasangan dalam menjaga keutuhan rumah tangga. Ada berbagai faktor yang berkontribusi terhadap tingginya angka perceraian ini. Godaan duniawi, seperti perselingkuhan dan ketergantungan pada teknologi, sering menjadi penghalang dalam menjaga kesetiaan. Kurangnya komunikasi yang efektif antara suami dan istri juga memperburuk situasi, menyebabkan kesalahpahaman yang tak teratasi. Selain itu, masalah keuangan yang membebani pasangan dapat memicu konflik yang berujung pada perceraian.

Di tengah cobaan ini, pentingnya menjaga kesetiaan dalam pernikahan Katolik tidak bisa diremehkan. Kesetiaan bukan hanya sebagai janji di depan altar, tetapi juga sebagai fondasi yang menopang segala cobaan dan ujian dalam kehidupan berumah tangga. Menjaga komitmen ini memerlukan upaya terus-menerus dari kedua belah pihak, dengan mengedepankan komunikasi, kepercayaan, dan dukungan satu sama lain. Artikel ini berusaha mengeksplorasi pentingnya komitmen dan kesetiaan dalam pernikahan Katolik, serta memberikan panduan praktis untuk menghadapi dan mengatasi berbagai tantangan yang mungkin muncul.

Makna Komitmen dalam Pernikahan Katolik

Dalam tradisi Katolik, pernikahan adalah sakramen yang suci dan tak terpisahkan. Katekismus Gereja Katolik (KGK) menyatakan bahwa pernikahan adalah perjanjian persekutuan seumur hidup antara seorang pria dan seorang wanita, yang ditujukan untuk kebaikan pasangan itu sendiri serta untuk kelahiran dan pendidikan anak-anak (KGK, 1601). Komitmen dalam pernikahan Katolik melibatkan kesetiaan, cinta yang tanpa syarat, dan pengorbanan diri demi kesejahteraan pasangan dan keluarga.

Paus Fransiskus (2016), dalam Amoris Laetitia, menyoroti bahwa komitmen dalam pernikahan adalah tindakan yang berani dan radikal. Pasangan saling memberikan diri mereka secara penuh dan tanpa syarat. Komitmen ini menuntut kesetiaan dan ketekunan, meskipun menghadapi berbagai tantangan dan godaan yang mungkin muncul dalam kehidupan berumah tangga.

Janji pernikahan yang diucapkan saat upacara pernikahan merupakan momen yang sangat sakral dan bermakna dalam tradisi Katolik. Janji ini mencerminkan komitmen yang tulus dan ikhlas dari kedua mempelai untuk saling mencintai dan menghormati sepanjang hidup mereka. Janji tersebut berbunyi: "Aku, (nama), mengambil engkau, (nama), menjadi istri/suami yang sah. Aku berjanji untuk setia kepadamu dalam untung dan malang, dalam sehat dan sakit. Aku akan mencintai dan menghormatimu sepanjang hidupku." Kata-kata ini tidak hanya sekadar formalitas, tetapi pernyataan iman dan komitmen yang mendalam, yang mengikat kedua mempelai dalam ikatan kasih yang suci dan tak terpisahkan. Menurut ajaran Katolik, janji ini adalah manifestasi dari kehendak Tuhan yang menyatukan dua individu dalam satu daging (Mat 19:6).

Komitmen dalam pernikahan Katolik adalah pilar utama yang membangun dan mempertahankan keutuhan rumah tangga. Tanpa komitmen yang kuat, pernikahan rentan terhadap berbagai tantangan dan cobaan yang bisa menggoyahkan fondasinya. Komitmen ini memberikan stabilitas dan keamanan emosional bagi pasangan, memungkinkan mereka untuk menghadapi masa-masa sulit dengan keyakinan dan keberanian.

Menurut John Gottman (1999), dalam The Seven Principles for Making Marriage Work, komitmen adalah kunci untuk pernikahan yang bahagia dan langgeng. Pasangan yang berkomitmen cenderung lebih mampu mengatasi konflik dan membangun hubungan yang lebih kuat dan harmonis. Komitmen melibatkan kesediaan untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah, memberikan dukungan emosional, dan menjaga komunikasi yang terbuka dan jujur. Menurut Paus Yohanes Paulus II (1981), dalam Familiaris Consortio, keluarga yang didirikan atas dasar komitmen suci adalah tempat kasih dan kesetiaan berkembang dan menjadi teladan bagi anak-anak. Komitmen yang tulus dan ikhlas akan membentuk keluarga yang kuat dan penuh kasih, yang mampu memberikan pengaruh positif bagi masyarakat dan Gereja.

Tantangan Menjaga Kesetiaan dalam Pernikahan Katolik

Fenomena godaan duniawi. Dalam era modern ini, godaan duniawi menjadi salah satu tantangan terbesar dalam menjaga kesetiaan pernikahan Katolik. Materialisme, perselingkuhan, dan pornografi merupakan beberapa bentuk godaan yang sering mengganggu keutuhan rumah tangga.

Materialisme dapat menggeser fokus dari nilai-nilai spiritual dan moral yang seharusnya menjadi dasar dalam pernikahan. Menurut Paus Fransiskus (2015), dalam Laudato Si', budaya konsumtif telah menciptakan nilai-nilai palsu yang mengganggu hubungan manusia dan mengikis fondasi keluarga.

Perselingkuhan adalah bentuk pengkhianatan yang merusak kepercayaan dan cinta dalam pernikahan. Menurut Shirley Glass (2003), dalam Not Just Friends, perselingkuhan sering dimulai dari hubungan yang tampaknya tidak berbahaya, namun berkembang menjadi ikatan emosional dan fisik yang merusak pernikahan.

Pornografi juga menjadi ancaman serius bagi kesetiaan. Katekismus Gereja Katolik menyebutkan bahwa pornografi merendahkan martabat manusia dan merusak kemurnian hati, yang esensial dalam menjaga kesetiaan dan kasih dalam pernikahan (KGK, 2354).

Kurangnya komunikasi dan keintiman dalam hubungan suami istri. Komunikasi yang efektif dan keintiman emosional adalah kunci dalam menjaga hubungan pernikahan yang sehat dan bahagia. Namun, banyak pasangan yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dan menjaga keintiman, yang pada akhirnya mengganggu kesetiaan dalam pernikahan. John Gottman (1999) menekankan bahwa kurangnya komunikasi adalah penyebab utama konflik dalam pernikahan. Pasangan yang tidak mampu berkomunikasi dengan baik cenderung mengalami kesalahpahaman yang berujung pada ketidakpuasan dan ketidaksetiaan. Ajaran Gereja Katolik menekankan pentingnya komunikasi dalam pernikahan. Menurut Paus Yohanes Paulus II (1981), dialog yang terbuka dan jujur antara suami dan istri adalah dasar bagi keintiman dan kesetiaan dalam pernikahan.

Masalah keuangan, stres, dan konflik keluarga. Masalah sering menguji kesetiaan dalam pernikahan. Ketegangan finansial dapat memicu konflik dan memperburuk hubungan antara suami dan istri. Menurut Paus Benediktus XVI (2009), dalam Caritas in Veritate, krisis ekonomi tidak hanya memengaruhi kesejahteraan materi, tetapi juga stabilitas emosional dan spiritual dalam keluarga. Ketika pasangan menghadapi tekanan finansial, mereka perlu bekerja sama untuk mencari solusi, bukan saling menyalahkan.

Stres juga memainkan peran besar dalam mengganggu kesetiaan. Sue Johnson (2008), dalam Hold Me Tight, menyatakan bahwa stres yang tidak dikelola dengan baik dapat menciptakan jarak emosional antara pasangan, mengurangi keintiman, dan membuka peluang bagi godaan eksternal.

Strategi Mempertahankan Kesetiaan di Tengah Cobaan

Memperkuat iman dan spiritualitas. Ini adalah langkah fundamental dalam mempertahankan kesetiaan dalam pernikahan Katolik. Pasangan yang berbagi kehidupan rohani cenderung lebih kuat dalam menghadapi cobaan. Menurut Paus Yohanes Paulus II (1981), keluarga adalah Gereja rumah tangga, tempat iman dipraktikkan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Ajaran Gereja Katolik menekankan pentingnya doa bersama, menghadiri misa secara rutin, dan menerima sakramen sebagai cara untuk memperkuat ikatan spiritual antara suami dan istri.

Meningkatkan komunikasi dan keintiman dalam hubungan suami istri. Komunikasi yang efektif dan keintiman emosional adalah kunci untuk menjaga kesetiaan dalam pernikahan. Pasangan harus terus bekerja untuk memperkuat komunikasi mereka. John Gottman (1999) menyatakan bahwa komunikasi yang terbuka dan jujur membantu pasangan untuk saling memahami dan mendukung. Teknik seperti mendengarkan aktif, berbicara dari hati, dan mengungkapkan perasaan secara jujur dapat meningkatkan keintiman emosional. Ajaran Gereja Katolik mendukung pentingnya komunikasi dalam pernikahan. Menurut Paus Fransiskus (2016), dialog adalah elemen penting dalam pernikahan yang sehat. Pasangan harus berkomunikasi dengan penuh kasih dan hormat.

Mengelola keuangan bersama dengan bijak. Masalah keuangan adalah salah satu penyebab utama stres dalam pernikahan. Penting bagi pasangan untuk mengelola keuangan bersama dengan bijak. Paus Benediktus XVI (2009) menyatakan bahwa ekonomi yang adil dan berkelanjutan adalah dasar bagi stabilitas keluarga. Pasangan perlu merencanakan anggaran bersama, menabung untuk masa depan, dan berkomunikasi tentang tujuan keuangan mereka. David Bach (2001), dalam Smart Couples Finish Rich, menyarankan agar pasangan membuat rencana keuangan bersama dan saling mendukung dalam mencapai tujuan finansial mereka. Mengelola keuangan dengan bijak dapat mengurangi stres dan konflik dalam pernikahan.

Mencari bantuan profesional dan memanfaatkan peran Gereja Katolik. Tidak jarang pasangan menghadapi masalah yang sulit diatasi sendiri. Dalam situasi seperti ini, mencari bantuan profesional bisa sangat bermanfaat. Konseling pernikahan dapat membantu pasangan memahami masalah mereka dan menemukan solusi yang efektif. Menurut Sue Johnson (2008), terapi pasangan dapat membantu mengatasi masalah emosional dan meningkatkan keintiman. Gereja Katolik memiliki peran penting dalam membantu pasangan menjaga kesetiaan melalui pelayanan sakramen-sakramen, terutama Sakramen Pengampunan. Banyak paroki menawarkan program konseling dan dukungan bagi pasangan yang menghadapi kesulitan. Paus Fransiskus (2016) menekankan bahwa Gereja harus menjadi tempat pasangan dapat mencari bantuan dan dukungan. Ada banyak program yang disediakan Gereja, seperti Marriage Encounter, Couple for Christ, dan masih banyak lagi  yang dapat membantu pasangan memperkuat pernikahan mereka.

Berdasarkan paparan di atas, pernikahan Katolik adalah sebuah komitmen suci yang menuntut kesetiaan dan ketekunan di tengah berbagai cobaan. Meningkatnya kasus perceraian di kalangan pasangan Katolik menggarisbawahi perlunya strategi yang efektif untuk mempertahankan kesetiaan. Dengan memperkuat iman dan spiritualitas, meningkatkan komunikasi dan keintiman, mengelola keuangan bersama dengan bijak, serta mencari bantuan profesional dan memanfaatkan peran Gereja, pasangan dapat mengatasi godaan duniawi, masalah keuangan, dan konflik keluarga. Ajaran Gereja Katolik dan ensiklik para Paus memberikan panduan yang berharga dalam menjaga pernikahan yang kokoh dan penuh kasih. Melalui usaha bersama dan dukungan spiritual, pasangan Katolik dapat terus menjaga kesetiaan dan cinta mereka, membangun keluarga yang harmonis dan kuat dalam iman. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun