Menurut John Gottman (2015) dalam The Seven Principles for Making Marriage Work, stres dan tekanan yang ditimbulkan oleh upaya memenuhi ekspektasi sosial yang tinggi dapat memicu konflik dalam hubungan.
Pasangan yang baru menikah sering menghadapi tantangan besar dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan baru. Tekanan tambahan dari ekspektasi sosial tersebut hanya akan memperburuk situasi.
Pergeseran nilai: Budaya pamer gengsi dalam pernikahan dapat menggeser nilai-nilai penting dalam pernikahan seperti cinta, komitmen, dan kebersamaan. Fokus pernikahan teralihkan pada aspek materialistik dan status sosial.
Menurut Bella DePaulo (2014) dalam Single Out, pergeseran fokus dari nilai-nilai inti pernikahan ke aspek-aspek materialistik dapat mengurangi makna sejati pernikahan. Ketika pasangan lebih memprioritaskan penampilan luar daripada hubungan yang mendalam, mereka akan mengalami ketidakpuasan dalam jangka panjang.
Menurut Paus Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio (1981), pernikahan harus dibangun di atas dasar cinta dan komitmen, bukan status sosial atau materialisme.
Sikap konsumtif: Budaya berhutang untuk pesta pernikahan dapat menimbulkan sikap konsumtif dan kurang bertanggung jawab dalam mengelola keuangan.
Menurut David Bach (2019) dalam The Latte Factor, sikap konsumtif yang didorong oleh keinginan untuk mengesankan orang lain dengan pesta pernikahan yang mewah dapat mengakibatkan masalah keuangan jangka panjang, termasuk kesulitan mengelola keuangan di masa depan.
Dalam Gaudium et Spes (1965) ditekankan bahwa umat Katolik harus menghindari sikap konsumtif dan berfokus pada penggunaan sumber daya untuk kesejahteraan semua orang.
Solusi Mengatasi Gengsi
Fenomena pamer gengsi dalam pesta pernikahan membawa dampak negatif yang signifikan. Berikut, beberapa alternatif solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Perubahan mindset: Perlu dilakukan edukasi dan perubahan mindset masyarakat untuk menghargai pernikahan yang sederhana dan sesuai dengan kemampuan.