Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pernikahan Atas Dasar Cinta: Fondasi Kokoh Menuju Kebahagiaan

21 Juni 2024   10:41 Diperbarui: 21 Juni 2024   10:41 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rina, seorang gadis berusia 17 tahun, dipaksa menikah dengan Rino setelah hamil di luar nikah. Pernikahan ini dilangsungkan tanpa persetujuan dan kematangan dari kedua belah pihak, yang berakibat pada kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Kasus ini menunjukkan bahwa pernikahan tanpa cinta, hanya karena si gadis hamil, dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan selanjutnya. Pernikahan yang dilandasi cinta sejati cenderung lebih stabil daripada pernikahan yang terjadi karena paksaan. Gereja Katolik mengajarkan bahwa hubungan seksual seharusnya terjadi dalam ikatan pernikahan yang sah. Namun, Gereja juga mengedepankan pendekatan yang penuh kasih dan pengertian terhadap individu yang bersangkutan, tanpa memaksakan pernikahan sebagai solusi utama.

Pandangan Gereja Katolik

Dalam Gereja Katolik, perkawinan adalah salah satu dari tujuh sakramen, yang merupakan tanda suci yang diberikan Allah. Sakramen ini mengikat dua individu dalam ikatan cinta dan komitmen yang abadi. Hal ini ditegaskan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK 1601): perkawinan diciptakan dan diberkati oleh Allah untuk kesejahteraan pribadi dan sosial.

Menurut Gereja Katolik, hubungan seksual seharusnya terjadi dalam konteks pernikahan yang sah. Dalam KGK 2390 ditegaskan bahwa hubungan seksual di luar nikah adalah dosa berat, karena tidak mencerminkan komitmen dan sakralitas pernikahan.

Ketika terjadi kehamilan di luar nikah, Gereja Katolik tidak memaksakan pernikahan sebagai solusi utama. Gereja lebih menekankan pendekatan yang penuh kasih dan pengertian, mengakui kompleksitas situasi yang dihadapi oleh individu yang terlibat. Paus Fransiskus dalam Amoris Laetitia (2016) menekankan pentingnya pendekatan yang penuh kasih terhadap semua situasi keluarga, termasuk kehamilan di luar nikah, dan menghindari penghakiman, serta menawarkan pengertian dan bantuan praktis kepada yang menghadapi situasi tersebut.

Dampak Emosional dan Psikologis

Wanita yang hamil di luar nikah sering menghadapi berbagai tekanan emosional. Tekanan ini bisa datang dari keluarga, masyarakat, dan diri sendiri. Dampak emosional yang umum dihadapi, antara lain rasa malu dan stigma sosial. Selain itu, tekanan untuk membuat keputusan yang cepat tentang masa depan, apakah akan menikah, melanjutkan kehamilan, atau memberikan anak untuk diadopsi, yang menimbulkan kecemasan tersendiri. Sementara itu, pria yang terlibat juga menghadapi dampak psikologis yang signifikan. Ia mungkin merasa bersalah atas situasi yang terjadi dan bertanggung jawab untuk mendukung pasangan serta calon anak mereka. Hal ini dapat menyebabkan stres dan kecemasan. Ia juga merasa bingung akan langkah apa yang harus diambil, terutama jika ia belum siap untuk menjadi orang tua.

Reaksi dari keluarga, antara lain kekecewaan dan rasa malu, apalagi jika mereka sangat menjunjung nilai-nilai moral dan agama. Reaksi ini dapat memperburuk rasa malu dan isolasi yang dirasakan oleh wanita yang hamil di luar nikah.  Selain itu, kekhawatiran tentang masa depan wanita serta anak yang akan lahir, termasuk aspek finansial, pendidikan, dan dukungan sosial.  

Proses Pengambilan Keputusan

Terkait kehamilan di luar nikah sangat dibutuhkan dialog yang terbuka dalam proses pengambilan keputusan. Komunikasi yang jujur dan transparan dapat membantu mengurangi ketegangan dan kebingungan. Menurut John Gottman, penulis The Seven Principles for Making Marriage Work (1999), komunikasi terbuka dan jujur sangat penting dalam menghadapi berbagai masalah besar, termasuk kehamilan yang tidak direncanakan.

Pengambilan keputusan tersebut memerlukan pertimbangan yang matang dari berbagai aspek, termasuk moral, hukum, dan dampak jangka panjang. Menurut KGK 2270, kehidupan manusia harus dihormati dan dilindungi secara mutlak sejak saat pembuahan. Setiap negara memiliki hukum yang berbeda mengenai kehamilan di luar nikah, hak-hak orang tua, dan opsi yang tersedia, seperti adopsi atau aborsi. Konsultasi dengan profesional hukum diperlukan untuk memahami hak dan kewajiban yang berlaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun