Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Perkawinan Dini: Penyebab, Dampak, dan Solusi Mengatasinya

11 Juni 2024   05:12 Diperbarui: 11 Juni 2024   05:48 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkawinan dini, atau perkawinan anak, yaitu pernikahan yang dilakukan pada usia yang masih muda. Indonesia mengatur batas usia minimum untuk menikah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan usia 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Namun, peraturan ini direvisi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, yang menetapkan bahwa "Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun." Jadi, pernikahan yang dilakukan di bawah usia tersebut adalah melanggar hukum. Fenomena ini masih terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Namun, praktik ini membawa dampak negatif terhadap anak-anak, terutama perempuan dalam hal kesehatan, pendidikan, dan hak-hak asasi manusia. Artikel ini berusaha membahas faktor penyebab terjadinya perkawinan dini, dampaknya, serta solusi strategis untuk mengatasinya.

Faktor Penyebab

Beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya perkawinan dini, antara lain sebagai berikut.

Kemiskinan adalah salah satu faktor utama. Dalam situasi ekonomi sulit, keluarga miskin sering melihat perkawinan anak perempuan sebagai cara mengurangi beban ekonomi, dengan harapan memperoleh mahar yang membantu kondisi finansial. Penelitian UNICEF (2014) menunjukkan bahwa anak perempuan dari keluarga miskin lebih mungkin menikah dini dibandingkan dengan yang lebih mampu.

Rendahnya tingkat pendidikan juga berkontribusi pada tingginya angka perkawinan dini. Anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan memadai cenderung tidak memahami konsekuensi negatif perkawinan dini. Studi UNESCO (2016) mengungkapkan bahwa anak perempuan yang menyelesaikan pendidikan dasar memiliki kemungkinan lebih kecil untuk menikah dini dibandingkan dengan yang tidak sekolah.

Di beberapa daerah, perkawinan dini masih dianggap sebagai norma atau tradisi budaya yang harus dilestarikan, sering kali didukung oleh pandangan bahwa menikahkan anak perempuan di usia muda adalah cara melindungi mereka dari risiko sosial dan ekonomi. Ensiklik Evangelii Gaudium (2013) oleh Paus Fransiskus menekankan pentingnya menghormati dan melindungi hak-hak anak serta menentang praktik-praktik yang merugikan mereka, termasuk perkawinan dini.

Kurangnya akses terhadap informasi tentang kesehatan reproduksi dan hak-hak perempuan juga menjadi faktor. Anak perempuan yang menikah muda menghadapi risiko kesehatan seperti komplikasi kehamilan dan persalinan. Kitab Hukum Kanonik (KHK, 1983) menekankan pentingnya pendidikan dan formasi yang memadai bagi anak-anak dalam memahami hak dan kewajiban mereka.

Anak perempuan di bawah umur terkadang menjadi korban penculikan dan perdagangan manusia, dipaksa menikah dengan laki-laki dewasa. Perdagangan manusia adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan sering berkaitan dengan jaringan kejahatan. Laporan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM, 2017) menyebutkan bahwa perdagangan manusia untuk tujuan pernikahan paksa merupakan masalah signifikan di beberapa wilayah.

Dampak Negatif

Dampak negatif perkawinan dini sangat signifikan dan mencakup berbagai aspek kehidupan. Dari segi medis, perempuan yang menikah muda memiliki risiko tinggi mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan. Menurut WHO, anak perempuan hamil di bawah usia 20 tahun lebih rentan mengalami preeklampsia, eklampsia, dan infeksi postpartum, serta melahirkan bayi prematur atau dengan berat badan rendah. Paus Fransiskus dalam Laudato Si' (2015) menekankan pentingnya menjaga kesehatan ibu dan anak untuk kesejahteraan umat manusia.

Dari aspek pendidikan, perempuan yang menikah muda sering terpaksa berhenti sekolah demi fokus pada rumah tangga, yang mengakibatkan berkurangnya peluang ekonomi dan pengembangan diri. UNESCO (2016) menunjukkan bahwa perempuan yang menyelesaikan pendidikan dasar memiliki potensi penghasilan lebih tinggi dan kontribusi lebih besar terhadap ekonomi keluarga dibandingkan yang tidak menyelesaikan pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun