Perempuan yang menikah di usia muda lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (fisik, emosional, seksual). Menurut UNICEF, anak perempuan yang menikah dini kurang memiliki kekuatan dan pengalaman untuk melindungi diri dari kekerasan pasangannya. Kitab Hukum Kanonik (KHK, 1983) menekankan perlunya perlindungan individu dari segala bentuk kekerasan dalam pernikahan.
Perkawinan di bawah umur sering menjebak pasangan dalam siklus kemiskinan. Minimnya keterampilan dan pendidikan membuat perempuan yang menikah dini kesulitan mengakses peluang ekonomi lebih baik, diperparah dengan beban ekonomi dari anak-anak. Bank Dunia (2018) menyatakan bahwa perkawinan dini berdampak signifikan pada penurunan pendapatan keluarga dan peningkatan kemiskinan.
Perempuan yang menikah muda mungkin belum siap secara mental dan emosional untuk pernikahan, sering berujung pada stres, depresi, dan kecemasan. Jurnal The Lancet (2017) melaporkan bahwa perempuan menikah sebelum usia 18 tahun memiliki tingkat depresi dan kecemasan lebih tinggi dibandingkan mereka yang menikah di usia lebih matang.
Solusi Strategis
Dalam rangka mengatasi dan mencegah perkawinan dini, diperlukan solusi strategis yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Berikut, beberapa upaya yang dapat dilakukan.
Meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, terutama bagi anak perempuan. Menurut UNESCO (2016), anak perempuan yang menyelesaikan pendidikan dasar memiliki kemungkinan lebih kecil untuk menikah dini dibandingkan yang tidak mendapatkan pendidikan. Paus Benediktus XVI dalam Caritas in Veritate (2009) juga menekankan pentingnya pendidikan dalam pembangunan manusia.
Memberdayakan perempuan melalui pelatihan keterampilan dan peluang ekonomi. Pelatihan dan akses modal usaha dapat membantu perempuan muda meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka. Menurut Bank Dunia (2018), pemberdayaan ekonomi perempuan mengurangi risiko perkawinan dini.
Melakukan kampanye edukasi dan sosialisasi tentang bahaya perkawinan dini dan pentingnya kesetaraan gender. Kampanye ini harus melibatkan tokoh-tokoh agama, adat, dan masyarakat. Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (2013) menekankan pentingnya edukasi dan advokasi dalam mengubah budaya yang merugikan.
Penegakan hukum yang kuat terhadap perkawinan di bawah umur. Hukum harus ditegakkan dan sanksi yang sesuai diberikan kepada pelanggar. Kitab Hukum Kanonik (KHK, 1983) menekankan perlunya perlindungan hukum bagi individu dari tindakan yang merugikan, termasuk perkawinan dini.
Kolaborasi antar-lembaga terkait. Pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan lembaga internasional harus bekerja sama untuk mencegah dan menangani perkawinan dini. UNFPA (2017) menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor.
Menyediakan layanan konseling dan dukungan psikologis bagi korban perkawinan dini. Layanan ini harus mudah diakses dan dirancang khusus untuk kebutuhan anak-anak dan remaja. Penelitian The Lancet (2017) menunjukkan bahwa dukungan psikologis dapat mengurangi dampak negatif mental dari perkawinan dini.