Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Meluasnya Prevalensi "Orang Dalam" dan Solusinya dalam Konteks Perekrutan

27 April 2024   07:52 Diperbarui: 27 April 2024   07:54 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di banyak negara, baik maju maupun berkembang, terdapat fenomena meluasnya prevalensi praktik "orang dalam" (insiders) dalam proses perekrutan. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam mendapatkan pekerjaan, hubungan personal dan jaringan menjadi faktor yang lebih penting daripada kualifikasi dan keahlian yang dimiliki individu.

Hal ini menarik perhatian karena menimbulkan beberapa konsekuensi negatif. Praktik ini cenderung memperkuat ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam peluang kerja. Selain itu, ketidakmerataan keterwakilan menyebabkan kurangnya keragaman dalam tenaga kerja. Dan, jika seleksi didasarkan pada koneksi pribadi dan jaringan tertentu, perusahaan (mungkin) tidak mendapatkan karyawan yang berkualitas, atau terjadi penurunan kualitas karyawan.

Berdasarkan konteks pemikiran di atas, artikel ini berusaha mengeksplorasi lebih jauh tentang bagaimana praktik "orang dalam" menjadi semakin umum dalam proses perekrutan, dan mengapa hal ini menjadi masalah yang perlu diatasi. 

Konsep "Orang Dalam" dalam Konteks Perekrutan

Dalam konteks perekrutan, konsep "orang dalam" mengacu pada praktik ketika individu diterima bekerja atau diberikan kesempatan karier berdasarkan hubungan personal atau jaringan yang dimiliki, bukan karena kualifikasi atau keahlian yang dimiliki. Dalam hal ini, seseorang mungkin diberi kesempatan atau mendapatkan preferensi karena memiliki hubungan dekat dengan orang di dalam perusahaan atau lembaga, seperti teman, keluarga, atau kenalan bisnis.

Dalam The Network Advantage: How to Cultivate Influence and Build Relationship, Michael Dulworth (2018) mengatakan: "Di pasar kerja yang kompetitif saat ini, nilai koneksi tidak dapat dilebih-lebihkan. Jaringan tidak hanya memberikan akses ke berbagai peluang, tetapi juga berfungsi sebagai mata uang dalam proses rekrutmen." Selain itu, Dulworth (2019) dalam The Meritocracy Trap: How America's Foundation Mith Feeds Inequality, menyebutkan bahwa: "Prevalensi praktik perekrutan 'orang dalam' merusak prinsip-prinsip dasar meritokrasi, melanggengkan ketidaksetaraan, dan mengukuhkan hierarki sosial." Meritokrasi adalah memberi kesempatan yang sama kepada semua orang untuk mendapatkan sebuah posisi atau jabatan.

Nan Lin (2001), dalam Social Capital: Theory and Research, mengatakan: "Jejaring sosial memainkan peran penting dalam pencapaian pekerjaan dan kemajuan karier, sering lebih penting daripada kualifikasi dan kemampuan individu."

Konsep-konsep tadi menunjukkan bahwa praktik "orang dalam" dapat menjadi faktor dominan dalam proses perekrutan karena kepercayaan, keterbatasan informasi, dan budaya organisasi yang mendorong hubungan personal dan jaringan dalam pengambilan keputusan.

Dampak Negatif "Orang Dalam" dalam Proses Perekrutan

Praktik "orang dalam" memiliki dampak negatif yang signifikan. Tidak hanya pada individu yang terkena dampaknya secara langsung, tetapi juga pada keadilan, keragaman, dan inovasi dalam lingkungan kerja secara keseluruhan.

Praktik ini cenderung merugikan keadilan dalam merekrut karyawan. Hal ini membuat kualifikasi dan keahlian terpinggirkan. Keputusan perekrutan didasarkan pada hubungan personal atau jaringan. Sementara kualifikasi, keahlian, dan kompetensi diabaikan. Hal ini bertentangan dengan prinsip meritokrasi karena individu seharusnya dinilai berdasarkan prestasi dan kemampuan. Selain itu, praktik "orang dalam" cenderung menciptakan kesenjangan dalam kesempatan. Individu yang memiliki hubungan personal atau jaringan yang kuat, tentu memiliki akses dan promosi yang lebih besar.

Praktik "orang dalam" juga dapat mempersempit kesempatan bagi individu yang berpotensi namun tidak memiliki jaringan yang kuat, misalnya karena keterbatasan akses. Ketika keputusan perekrutan didasarkan pada hubungan personal daripada kualifikasi dan keahlian, individu yang berpotensi namun tidak memiliki jaringan yang kuat mungkin tidak diberi kesempatan untuk membuktikan diri. Hal ini dapat menghambat perkembangan karier mereka dan mengurangi mobilitas sosial.

Praktik ini juga dapat menciptakan lingkungan kerja yang kurang bervariasi dan inovatif karena kurangnya keragaman perspektif. Selain itu, jika perusahaan terus-menerus merekrut dari dalam jaringan yang sudah ada, mereka cenderung memperkuat budaya nepotisme yang ada, tanpa mempertimbangkan kebutuhan untuk berkembang sesuai dengan perubahan dalam lingkungan bisnis atau industri.

Solusi dan Rekomendasi Mengatasi Praktik "Orang Dalam"

Saran atau rekomendasi yang efektif untuk mengatasi praktik "orang dalam" dalam proses perekrutan, di antaranya mendorong transparansi dan membangun infrastruktur yang mendukung keterbukaan dan aksesibilitas.

Mendorong transparansi dapat membantu memastikan bahwa keputusan perekrutan didasarkan pada kualifikasi dan keahlian yang sesuai, bukan hubungan personal atau jaringan. Misalnya, menetapkan standar dan kriteria yang jelas dalam pemilihan karyawan. Memastikan bahwa lowongan pekerjaan dipublikasikan secara luas, dan dapat diakses oleh semua individu yang memenuhi kriteria kualifikasi yang dibutuhkan. Menggunakan metode seleksi yang objektif, seperti wawancara terstruktur dan penilaian keterampilan, untuk mengevaluasi calon karyawan.

Membangun infrastruktur yang mendukung keterbukaan dan aksesibilitas dalam pasar kerja dapat membantu mengurangi kesenjangan akses dan memastikan bahwa semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing. Misalnya, memberikan pelatihan dan pendidikan yang memungkinkan individu mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk bersaing dalam pasar kerja yang kompetitif. Membangun jaringan dan sumber daya yang tersedia untuk semua individu, termasuk akses ke informasi tentang peluang karier dan dukungan dalam pengembangan keterampilan. Meningkatkan aksesibilitas melalui infrastruktur digital, seperti platform pencarian kerja online, yang memungkinkan individu untuk mencari dan melamar pekerjaan dengan mudah.

Praktik "orang dalam" dalam proses perekrutan telah menjadi semakin umum dalam pasar kerja modern. Namun, fenomena ini memiliki dampak negatif yang signifikan pada keadilan, keragaman, dan inovasi dalam lingkungan kerja. Selain itu, praktik ini menyebabkan individu yang lebih kompeten dapat terpinggirkan, dan terbatasnya individu yang tidak memiliki jaringan. Selain itu, praktik "orang dalam" juga dapat menghambat inovasi dan kreativitas di tempat kerja dengan memperkuat budaya nepotisme yang sudah ada.

Dalam mengatasi praktik yang negatif ini, perlu adanya transparansi dalam proses perekrutan dan membangun infrastruktur yang mendukung keterbukaan dan aksesibilitas dalam pasar kerja. Hal ini akan mengurangi prevalensi praktik "orang dalam" yang merugikan proses perekrutan. Dengan demikian, dapat dibangun pasar kerja yang lebih adil, inklusif, dan berpeluang bagi semua individu untuk meraih kesuksesan dalam karier mereka. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun