Stereotip gender dalam masyarakat Indonesia sering tercermin melalui bahasa, yang dapat merendahkan atau mengabaikan posisi sosial seorang perempuan. Beberapa contoh stereotip gender yang ditemukan dalam bahasa Indonesia, antara lain penggunaan kata ganti maskulin universal, stereotip gender dalam pekerjaan, penilaian berdasarkan penampilan fisik, dan stereotip peran gender.
Penggunaan Kata Ganti Maskulin Universal
Dalam bahasa Indonesia, terdapat kecenderungan untuk menggunakan kata ganti maskulin. Misalnya penggunaan "dia" atau "mereka" secara tidak langsung
mengasumsikan bahwa laki-laki adalah representasi standar dari manusia, sedangkan perempuan dianggap sebagai pengecualian. Penggunaan "dia" dalam kalimat "Dia datang ke pertemuan" secara tidak langsung menganggap bahwa orang yang dimaksud adalah laki-laki, padahal bisa juga perempuan. Hal ini menciptakan kesan bahwa keberadaan perempuan dianggap sebagai sesuatu yang perlu diidentifikasi secara eksplisit, sementara laki-laki dianggap sebagai norma.
Contoh lain, penggunaan "mereka" dalam kalimat "Mereka adalah dokter-dokter yang sangat berbakat" diasumsikan bahwa dokter-dokter itu adalah laki-laki, karena tidak ada penjelasan tambahan mengenai jenis kelamin mereka. Jadi, dokter perempuan dianggap kurang terlihat.
Stereotip Gender dalam Pekerjaan
Penggunaan kata-kata dalam bahasa Indonesia yang mencerminkan stereotip gender dalam pekerjaan sering terjadi karena budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat. Budaya ini cenderung memosisikan laki-laki dan perempuan dalam peran-peran yang dianggap sesuai dengan stereotip gender tradisional. Hal ini tercermin dalam bahasa sehari-hari, yang kata-katanya sering mengandung unsur maskulinitas dan secara implisit mengasumsikan bahwa pekerjaan atau peran tertentu lebih cocok dilakukan oleh laki-laki daripada perempuan. Penggunaan kata-kata "tukang", "pengemudi", "montir", atau "pengacara" secara implisit mengasumsikan bahwa pekerjaan-pekerjaan tersebut lebih cocok dilakukan oleh laki-laki. Hal ini dapat merendahkan atau mengabaikan kontribusi, kompetensi, dan kemampuan perempuan dalam bidang-bidang itu.
Penilaian Berdasarkan Penampilan Fisik
Penggunaan kata-kata dalam bahasa Indonesia untuk menilai seseorang berdasarkan penampilan fisiknya, mencerminkan stereotip gender dan dapat merendahkan atau membatasi individu, terutama perempuan. Budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat seringkali memandang perempuan dari sudut pandang yang memprioritaskan penampilan fisik mereka daripada prestasi atau kualifikasi lainnya. Hal ini tercermin dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Penggunaan kata-kata, seperti "cantik", "menarik", "rupawan", atau "berwajah bersih" merujuk pada perempuan. Hal ini dapat menyebabkan mereka dipandang hanya dari sisi penampilan fisiknya, bukan dari kemampuan, prestasi, atau kualifikasi mereka. Mengevaluasi perempuan hanya berdasarkan penampilan fisik mereka dapat mengabaikan prestasi atau kualifikasi mereka dalam hal-hal lain. Selain itu, penggunaan kata-kata seperti itu dapat memperkuat pandangan yang sempit tentang nilai dan identitas perempuan, serta menciptakan tekanan dan ekspektasi yang tidak realistis terhadap penampilan fisik mereka.
Stereotip Peran Gender
Penggunaan kata-kata dalam bahasa Indonesia juga mencerminkan stereotip gender. Perempuan sering diasumsikan memiliki peran domestik dan merawat, sedangkan laki-laki dianggal lebih cocok untuk peran yang berkaitan dengan kekuasaan atau otoritas. Misalnya, ungkapan seperti "Pekerjaan rumah adalah tanggung jawab perempuan" menempatkan perempuan dalam peran domestik tanpa mempertimbangkan kemampuan atau minat individual mereka. Demikian pula, ungkapan "Pekerjaan seperti tukang bangunan adalah pekerjaan laki-laki" atau "Seorang ibu harus mengutamkan peran sebagai ibu" mencerminkan stereotip peran gender. Penggunaan bahasa seperti ini dapat memengaruhi persepsi dan perilaku individu, serta memperkuat ketidaksetaraan gender dalam masyarakat. Hal ini dapat membatasi pilihan karier perempuan dan memperkuat hierarki gender dalam dunia kerja. Selain itu, pandangan ini menciptakan ekspektasi yang mengikat bagi perempuan untuk mengorbankan aspirasi atau karier pribadi mereka demi peran ibu yang dianggap lebih penting.