Mohon tunggu...
Agustinus Sukaryadi
Agustinus Sukaryadi Mohon Tunggu... Dosen - Agustinus Sukaryadi

Tempat, tanggal, lahir: Yogyakarta, 25 Agustus 1956

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tradisi sebagai Kekayaan Spiritualitas Bangsa

23 Maret 2022   20:34 Diperbarui: 23 Maret 2022   20:43 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua acara nasional besar yang bercorak modern namun tidak meninggalkan yang tradisi; pertama  kemah Presiden Jokowi beserta para menteri dan semua gubernur. Kemah dalam rangka pembukaan pembangunan Ibu Kota Negara 13-14 Maret 2022, di titik nol calon Ibu Kota Negara. 

Diselenggarakan dengan kamasan yang menyertakan tradisi nenek moyang. Mengumpulkan tanah dan air bersejarah  dari daerah-daerah dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah kendi. 

Kedua balapan motor di sirkuit Mandalika yang menyertakan tradisi dengan penolakan hujan. Kedua momentum tersebut tidak luput dari sorotan tajam. 

Ada orang-orang mengecam dengan menyertakan adat dan tradisi. Menafikkan tradisi-tradisi sebagai kekayaan spiritualitas. Mereka berpandangan bahwa tidak ada spiritualitas dalam tradisi-tradisi.

Dari ramainya perbincangan dan kritik tajam (nyaris kecaman) soal  kontra penyertaan tradisi dalam upacara besar dan nasional tersebut penulis lalu teringat peristiwa kunjungan Bapa Suci Yohanes Paulus II di Indonesia bulan Oktober 1989. 

Saat itu penulis terlibat menjadi  panitia penerimaan yang di Yogyakarta. Kurang lebih selama tiga bulan panitia mempersiapkan segala sesuatunya. 

Suatu saat datang sekelompok orang yang ingin membantu masuk dalam kepanitiaan. 

Mereka menyatakan akan menolak hujan, agar pada saat penyambutan cuaca cerah (intinya begitu). Mereka mengatakan wakil dari sekitar 400 orang yang ingin ikut mengamankan jalannya penyambutan tamu Negara. Pastor yang menjadi salah satu penasehat penulis lapori. 

Dengan berbagai pertimbangan, permintaan  diakomodir namun tidak masuk dikepanitiaan. Penulis mengutarakan problimatiknya, mereka bisa menerimanya. kemudian mencari jalan bersama, yang penting niat suci, terakomodasi. Berbaur dengan umat melakukan tugas suci mereka.

Dari pengalaman-pengalaman tersebut nyata bahwa tradisi-tradisi yang berkembang, memiliki spiritualitas dan religiousitas yang hidup serta dihidupi oleh masyarakat. 

Dalam bukunya Rachmat Subagyo, yang berjudul Agama-agama Asli di Indonesia, menyebutkan ada tradisi-tradisi religious di setiap suku bangsa/sub suku bangsa di Indonesia. 

Tradisi itu hidup dan dihidupi oleh mereka. Pun dalam  bukunya Ayu Sutarto "Saya orang Tengger, saya punya agama", bisa memperkuat pendapat ini. Kehadirannya sudah lebih dulu dari kehidupan generasi kita dan masuknya agama-agama besar. 

Tentu tidak sederhana hal ini  dimengertikan dan dipahami oleh generasi sesudahnya. Di zaman ini, zaman globalisasi semakin banyak bersinggungan dengan aneka budaya, ilmu, religiousitas dan tradisi-tradisi suku bangsa, bangsa atau sub suku bangsa.

Persinggungan budaya, tradisi, dan agama sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Di Jawa persinggungan ini menemukan makna dan manfaatnya masing-masing. Ada corak candi Hindu, ada candi corak Budha, ada candi corak campuran. Di kompleks Gereja Katolik Hati Kudus Ganjuran Bantul ada candi Hati Kudus Yesus. Terjadilah asimilasi, akulkturasi, inkulturasi. Rumah ibadah pun ada yang berarsitektur menyesuaikan daerahnya. 

Kita patut  bersyukur bahwa di era keterbukaan ini,  pemerintah  mengupayakan dan mendorong  masyarakat untuk menghidupkan kembali tradisi-tradisi dan kerarifan-kearifan local, sebagai alternative mengatasi kendala-kendala kemasyarakatan. 

Bahkan telah memberi keteladanan untuk menghidupkan tradisi-tradisi dan kearifan local. Meski disana-sini masih terganggu dengan tindakan diskriminasi, intoleransi dan persekusi. 

Sebenarnya kearifan-kearifan local dan spiritualitas seperti ini  yang digali oleh Sukarno, kemudian didiskusikan dengan teman-teman seperjuangan dan terkristal dalam sila Ketuhanan yang Maha Esa dan keempat sila lainnya.

Spiritualitas berasal dari kata spirit, yang dalam KBBI berarti semangat atau jiwa, sukma, roh. Menjadi kata spiritual yang berarti bersifat kejiwaan, rohani atau batin. Spiritualitas adalah sesuatu yang menjadi jiwa yang mendorong dan menyangga  pemikiran dan perbuatan baik, luhur dan mulia. Kearifan local menjiwai dan mendorong umat manusia untuk berfikir, berkata dan bertindak yang luhur dan mulia. Dengan demikian, pikiran, perkataan, dan tindakan yang dilandasi spiritualitas akan bermuara pada tujuan mulia dan memuliakan Tuhan.

Menghidupkan dan menghidupi  tradisi-tradisi dan kearifan local berarti membangun kembali hubungan harmoni antara manusia dengan ciptaan lainnya dan harmoni antara manusia dengan Penciptanya. 

Hubungan harmoni ini dilambangkan dalam simbol-simbol, dikaitkan dengan nama-nama bunga, pohon atau buah dengan permohonan atau harapan. Semuanya disatukan atau dirangkaikan menjadi satu kesatuan. Kesatuan simbol-simbol ini menjadi kesatuan doa dan harapan.

Kesatuan rangkaian simbol-simbol akan bergantung pada ruang, waktu dan maksud dari tradisi tersebut. Sebagai contoh, dalam tradisi Jawa, saat mengantar calon temanten pria kepada calon temanten perempuan.

Ada aneka jenis makanan yang terbuat dari ketan. Jadah, wajik, lemper, yangko dll. dengan lambing dan maksud segala bentuk komunikasi agar semakin dekat. (dari kata "ketan" menjadi "reraketan" (kedekatan dan keeratan hubungan), kedua keluarga temanten pria dan perempuan.

Itulah symbol-simbol dalam tradisi dan kearifan local. ada roh, jiwa, dan spirit didalamnya. Itu semua adalah kekayaan spiritualitas bangsa.        

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun