Mohon tunggu...
Agustinus H.S
Agustinus H.S Mohon Tunggu... -

Adalah seseorang yang dibesarkan di pulau Borneo, senang berbagi informasi apa saja terutama yang berhubungan dengan dunia online. Kadang juga suka bikin tulisan,.ya sekedar menumpahkan isi kepala... http://spot-bisnis.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Teror Vs Kesadaran

15 April 2010   06:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:47 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat ini sepertinya kedamaian terlalu enggang untuk hadir di tengah-tengah kehidupan ini. Segala sesuatu menjadi kacau-balau, terlihat berantakan. Negeri ini bukan tempat yang damai lagi, melainkan telah menjadi rumah para pemberontak, penyamun, pembangkang, pencuri perampok, perompak, pembunuh, pemerkosa, penjagal, pembohong, provokator, koruptor dan lain-lain. Dimanakah lagi akan kita temukan sedikit saja ruang tanpa teror? Dimanapun kita berada di negeri ini seakan-akan ancaman selalu ada sehingga jiwa kita tak bisa merasakan ketenangan.

Ya beginilah suasana negeri ini saat ini. Tubuhnya tak lagi semulus dulu lagi, dan wajahnyapun tak secerah warna bunga matahari. Aku sungguh kasihan padamu wahai negeriku. Sedangkan aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa untuk membuatmu pulih dan menjadi bersahaja seperti dulu.

Angin reformasi yang diharapkan berhembus dan membawa perbubahan yang lebih baik telah menjadi “virus” yang membuat manusia-manusia di negeri ini menjadi latah. Semuanya seakan-akan merasa pintar sendiri, kuat sendiri. Tak ada lagi toleransi, tak ada lagi belas kasih, tak ada rasa peduli, dan keras kepala. Yang jelas “Apa” yang dulu ada kini sudah tak ada lagi!. Sesuatu tentang “Apa” itu adalah sikap saling hormat-menghormati, ramah, toleransi, tidak mudah curiga, musyawarah untuk mufakat (bukan musyawarah untuk berdebat). Kemana semua itu pergi? Kemana? Entahlah, mungkin telah terkikis jaman!

Inilah yang membuat negeri ini menjadi “Negeri Pesakitan”. Bangsa yang besar telah menjadi bangsa yang keras kepala, berprilaku seperti binatang, menganut hukum rimba, saling mansa, saling terkam, saling bunuh, saling gusur dan masih banyak “Saling-Saling” yang lain. Lihat saja di televisi, koran, majalah dan lain sebagainya, sedikit sekali berita yang menenangkan “hati”. Apa yang terlihat, terdengar dan terbaca adalah berita-berita yang berisi Teror, teror agama, teror antar suku, teror politik, teror antar partai, teror ekonomi, anarkisme dan sertiap jiwa mungkin merasa ter-teror karena fenomena mutilasi sedang tren di ngeri ini.


Akhirnya alampun ikut menebar teror kepada penghuni negeri. Alam menjadi benci dan marah sebab seakan-akan manusia lupa dan tak lagi menaruh cinta kepadanya. Sungai-sungai meluap, banjir, badai, longsor, lumpur panas saling berlomba mengisi berita, hutan-hutan menangis terbakar dan laut bersedih karena tak mampu membahagiakan ikan akibat pencemaran yang luar biasa. Ternyata apa yang telah diberikan alam kepada manusia negeri tak berbalas cinta. Manusia menjadi rakus dan tamak akan sumber daya alam. Kapitalisme yang berkedok perkebunan dan pertambangan terbang kesana kemari seperti Iblis yang yang selalu mengincar mangsa dan menebar maut. Apakah kita sadar akn hal ini? Tidakkah manusia mampu mengengar jeritan kesakitan alam karena telah melukainya? Huh,..sepertinya manusia di negeri ini sudah tidak lagi peduli. Sebab kepedulian itu datang manakala alam telah marah.

Sungguh ironis, pada saat keadaan semakin tak menentu, manusia negeri lebih suka menambah kekacauan, demo anarkis, saling hujat, perang antar kampung, perang antar etnis, perang antar agama dan kepercayaan. Sesungguhnya manusia di negeri ini sudah semakin pintar akan tetapi kepintaran itu hanya digunakan untuk memusnahkan apa yang baik. Siapa yang dianggap berbeda dan lemah akan terancam. Perbedaan dan minoritas bukan lagi di pandang sebagai kekuatan melainkan dijadikan alasan untuk melakukan penyeragaman kepentingan yang tidak menghormati kelompok-kelompok minoritas, termasuk alam dan segala kekayaannya hanya dipandang sebagai objek eksploitasi demi keuntungan sesaat. Kebebasan demokrasi di terjemahkan ke dalam multi partai yang tidak mendewasakan rakyat. Partai politik hanya berlomba mencari kekuasaan. Tak ada lagi negarawan di negeri ini yang ada hanya politisi yang suka adu jotos, saling menghina, suka mengintimidasi, menganggap dirinya paling mampu memimpin. Rakyat tidak diajari bagaimana agar mereka mampu memimpin diri mereka sendiri. Atas nama rakyat! Itulah kalimat yang paling sering di ucapkan para politisi yang tidak setia pada kontrak politiknya. Akhirnya rakyat seperti aku inipun menjadi apatis, masa bodoh dengan agenda perubahan para politisi sebab “Perubahan” sesungguhnya tidak terjadi karena banyak partai, tidak karena banyak caleg melainkan melalui “Kesadaran Tertinggi” bagi setiap individu untuk mengubah hidupnya sendiri. Hidup ini adalah pilihan! Setiap individu bangsa berhak memilih sesuai dengan Kesadarannya dan memutuskan apa itu pilihannya untuk mengubah hidupnya sendiri, tidak tergantung pada politisi yang belum pasti mengubah hidup kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun