Pada hari gawai, warga saling mengunjungi dari rumah yang satu ke rumah yang lainnya. Acara di setiap rumah relatif sama: makan-minum sambil mengobrol. Inilah kesempatan warga untuk saling mengunjungi.
Sebagai ungkapan syukur kepada Duwata, Jubata, Nek Duwata, Tuhan, gawai mestilah dilaksanakan oleh masyarakat Dayak. Gawai sejatinya adalah pesta syukur atas hasil pertanian. Di banyak daerah, pesta budaya Dayak yang bersentral pada tradsi pertanian ini dikenal dengan bermacam-macam sebutan, seperti pesta Dange (Kayan Mendalam, Kab, Kapuas Hulu), Naik Dango (Dayak Kanayatn), Maka' Dio (Kab. Bengkayang dan Sambas), Gawai Dayak, dan lain-lain.
Bagi masyarakat Dayak di perkotaan, ada semacam kerinduan juga untuk menghadirkan budaya pesta rakyat ini di tengah-tengah suasana perkotaan, meskipun sesungguhnya mereka sudah tidak melakukan tradisi pertanian lagi (bersawah, berladang). Maka jadilah Gawai Dayak diselenggarakan secara rutin di Kota Pontianak, ibukota Provinsi Kalbar.
Namun menilik sejarah penyelenggaraannya, Gawai Dayak ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran seni budaya Dayak yang diselenggarakan pertama kalinya oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (Sekberkesda) di Pontianak pada tahun 1986. Dalam perkembangan selanjutnya, Gawai Dayak serupa diselenggarakan juga di daerah-daerah kabupaten/kota di Kalimantan Barat.
Gawai Dayak tradisional pada umumnya dilaksanakan memakan waktu hingga tiga bulan, yaitu biasanya pada bulan April sampai Juni. Pelaku upacara adat akan mengenakan pakaian tradisional berikut perhiasan tradisional seperti manik-manik, bulu burung enggang dan kerajinan perak tradisional. Pesta Gawai Dayak ditutup dan berakhir dengan penurunan pokok ranyai yang digantung.
Hingga kini Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Seiring perkembangan zaman dan isu kepentingan, kini upacara Gawai Dayak tradisional mengalami beberapa penyesuaian namun tetap mempertahankan unsur-unsur budaya yang penting terutama urutan dan prosesi upacaranya itu sendiri. Bekerja sama dengan pemerintah daerah, Gawai Dayak hanya digelar selama sepekan dan rutin dilaksanakan pada 20 Mei setiap tahunnya. Nama kegiatan bermuatan kepentingan budaya ini pun sekarang dikenal dengan Pekan Gawai Dayak.
Saat ini acara Gawai Dayak di beberapa daerah kabupaten di Kalbar telah dimodifikasi dengan tidak menghilangkan nilai-nilai luhur budaya dan diangkat menjadi acara tingkat kabupaten. Selain liputan wilayahnya diperluas, acaranya pun ditambah dengan penampilan berbagai tradisi Dayak yang ada di daerah bersangkutan, dan daerah lainnya yang mengikuti acara tersebut.
Dalam kemasan modern, Gawai Dayak tingkat Provinsi Kalbar dimeriahi oleh berbagai bentuk acara adat, upacara ritual, kesenian tradisional, permainan tradisional, pemeran dan penjualan berbagai bentuk kerajinan dan makanan tradisional, penampilan musik lagu dan tarian, serta pemilihan Bujang dan Dara Gawai.
Menilik pelaksanaan Gawai Dayak ini, nampak telah terjadi perubahan makna dan tujuan dari gawai itu sendiri. Perubahan ini dapat terjadi misalnya karena pengaruh industri pariwisata yang semakin kuat. Banyak pesta rakyat dihidupkan dan dipergelarkan kembali terutama untuk memuaskan selera para turis mancanegara atau demi menumpuk devisa negara.Â
Pengaruh ekonomi domestik juga dapat mengubah makna suatu pesta rakyat. Misalnya, pesta rakyat diselenggarakan hanya sebagai arena promosi atau dagang produk ekonomi. Hal yang sama juga dapat kita saksikan dalam gelar pesta rakyat untuk tujuan-tujuan politis demi kepentingan penguasa (kepala pemerintahan, tokoh politik).
Jika dimensi religius dari suatu pesta rakyat hilang, ditambah kepentingan ekonomi dan politik yang kuat, niscaya pesta rakyat akan jadi sekedar kegembiraan yang meninabobokan warga komunitas. Kalau pun pesta rakyat dapat meningkatkan semangat solidaritas, namun lambat-laun tidak lagi menjadi sarana "pencerahan" untuk memajukan kehidupan komunitas. (Agustinus Tamen/Warta Borneo Edisi 12 Th. 2019)