"Indonesia Raya, merdeka...merdeka. Hiduplah Indonesia Raya.” Lirik akhir lagu kebangsaan “Indonesia Raya” itu baru saja hilang dari pendengaran. Namun suasana gegap gempita masih dirasakan oleh sekitar seratus peserta seminar “Sosialisasi Empat Pilar” di Aula Rumah Dinas Ketua DPRD Provinsi Kalbar, Jalan Sutan Syahrir Pontianak, Jumat, (26/2) lalu. Anggota MPR RI asal Kalbar Maria Goreti menyelenggarakan seminar tersebut dengan tema “Penguatan Sistem Demokrasi Pancasila”, bekerjasama dengan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Pontianak Santo Thomas More sebagai organizing commitee.
Begitu lagu “Indonesia Raya” usai dinyanyikan, suasana berubah hening. Seorang wanita yang mengenakan blus batik motif Kalimantan segera mengangkat mikropon dan memberi aba-aba hening. Petronela Marina, wanita yang sedari tadi menjadi Master of Ceremony (MC) itu, kali ini merangkap sebagai pembawa doa untuk mengawali acara seminar. Berdiri di sampingnya, Billy Andrean, aktivis PMKRI yang juga bertugas menjadi MC lalu mengambil alih alur acara setelah Petronela usai mendaraskan doa secara Katolik.
Acara dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) yang sekaligus juga anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) asal Kalbar, Maria Goreti SSos MSi, mengawali sambutan dengan penjelasan mengenai pentingnya komitmen seluruh komponen bangsa terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Program mensosialisasikan empat pilar MPR ini dipandang perlu bagi segenap bangsa Indonesia, tidak terkecuali juga bagi generasi muda atau mahasiswa. Disini juga kita menegaskan bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD 1945 sebagai konstitusi negara serta Ketetapan MPR, juga Negara Kesatuan Republik Indoinesia (NKRI) sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara,” kata Maria Goreti.
Dijelaskannya, keempat hal ini harus tertanam di hati sanubari bangsa Indonesia, agar bangsa Indonesia kokoh berdiri di tengah-tengah kehidupan dunia yang penuh dengan gangguan, hambatan, tantangan dan ancaman. Pancasila sebagai ideologi negara juga mendapat tantangan dari dalam dan luar negeri. Oleh sebab itu, Maria Goreti berharap peserta seminar yang mayoritas berasal dari berbagai organisasi mahasiswa Katolik di perguruan tinggi di Pontianak ini mendapat pencerahan dari para narasumber yang sengaja didatangkan baik dari Kalbar maupun luar Kalbar.
“Asa’, dua, talu, ampat, lima, anam, tujuh. Adil ka’ Talino, bacuramin ka’ Saruga, basengat ka’ Jubata.” Sebaris kalimat berbahasa Dayak Kanayatn dengan lancar dilafalkan Maria Goreti, menandai resminya acara seminar sosialisasi empat pilar itu digelar.
Sebaris kalimat tersebut mungkin asing terdengar bagi sebagian orang. Namun tidak asing bagi sebagian besar warga Dayak di Kalimantan Barat. Sebaris kalimat yang tidak jarang disebut sebagian orang sebagai “salam” Dayak tersebut, kini selalu dikumandangkan dalam setiap perhelatan yang melibatkan masyarakat adat Dayak. Kalimat tersebut, sering menjadi sapaan pembuka dalam suatu acara atau pertemuan, baik resmi maupun tidak di Provinsi Kalbar.
“Asa’, dua, talu, ampat, lima, anam, tujuh” merupakan hitungan khas Dayak Kanayatn yang dimulai dari hitungan: satu, dua, tiga, empat, lima, enam dan tujuh. Hitungan ini bermakna sakral untuk menandai awal dari berbagai aktivitas masayarakat Dayak. Kemudian, hitungan ini diucapkan juga untuk menandai awal acara-acara resmi di Provinsi Kalbar.
Sementara, "Adil ka`Talino bacuramin ka`saruga basengat ka`jubata", lantas dibalas sebagian hadirin yang paham, dengan perkataan "Arus..., arus..., arus." Itulah "salam" Dayak yang kemudian menjadi falsafah hidup dan spirit masyarakat Dayak.
"Adil ka`Talino" artinya harus bersikap adil kepada sesama manusia. "Bacuramin ka`Saruga" artinya kita harus bercermin, berpandangan hidup seperti perkataan baik di surga. "Basengat ka`Jubata" bahwa kehidupan manusia itu tergantung kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lantas, dijawab dengan teriakan "Arus, arus, arus" (sebanyak tiga kali), yang artinya "amin", atau pun "ya", "terus-terus mengalir" (seperti air) dan "terus hidup".
Seminar ini juga menghadirkan dua pembicara, yakni Kristianus Benyamin SPd SS (Peneliti Tri-Filosofis Dayak Yayasan Sumangat Nusantara) dengan materi berjudul: “Tri-Filosofis Dayak dan Pancasila”, dan Drs Andreas Chang MBA (Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Pengembangan Komunitas Universitas Bina Nusantara, Jakarta) dengan materi berjudul: “Pemuda Menghadapi “Masyarakat Ekonomi ASEAN” (MEA)”. Seminar ini dipandu oleh 2 moderator, yakni Drs Hendrikus Clement (Staf Ahli Anggota DPD RI, Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Kalbar, Ketua Yayasan Sumangat Nusantara) dan Raymundus Geri (Ketua Presidium PMKRI Cabang Pontianak Santo Thomas More).
Pada kesempatan itu, Maria Goreti menegaskan bahwa Pancasila mengungkapkan dua hal sekaligus, yakni nilai-nilai dasar dan cita-cita bangsa Indonesia yang berakar pada nilai-nilai budaya, dan juga prinsip-prinsip paling dasar etika politik pasca tradisional. Beberapa hal yang menjadi tantangan di masyarakat antara lain larutnya atau latahnya masyarakat dalam arus konsumerisme glamour dan kapitalistik. Selain itu, adanya kelompok-kelompok fundamentalis agama yang menyatakan diri dalam praktek-praktek intoleransi, misalnya pelarangan Ahmadiyah, penutupan Gereja-gereja seperti Gereja Katolik Santa Klara di Bekasi. Ada juga pelarangan atau fatwa haram untuk menghormati bendera “Merah-Putih” pada upacara 17 Agustus 2015 lalu.
“Bahkan di Bandung baru-baru ini ada pembubaran Kelompok MPR RI yang sedang melaksanakan Sosialisasi Empat Pilar NKRI, dimana salah seorang anggota MPR RI berada dalam kelompok itu, yakni Ibu Melani Leimena Suharli,” papar Maria Goreti.
Di bidang politik, lanjut Maria, ada persoalan hubungan Pusat dan Daerah. “Keadilan sosial belum tercapai, justru semakin timbul gap antara wilayah tengah, barat dan timur,” papar anggota Komite III DPD RI alumni PMKRI Santo Thomas Aquinas Yogyakarta ini.
Menurutnya, kini muncul kelompok-kelopok ekstrimis atau fundamentalis yang tidak lagi menghayati nilai-nilai kebangsaan, budaya dan jati diri bangsa yang plural. Ditambah lagi korupsi terjadi dimana-mana yang merupakan ancaman terbesar bagi demokrasi dan masa depan bangsa.
Meskipun pengamalan nilai-nilai Pancasila sedemikian berat tantangannya, namun Pancasila tetap sangat relevan, karena memuat semua nilai yang perlu bagi masa depan bangsa. Ia mengajak generasi muda untuk mewaspadai secara kritis setiap upaya mengubah NKRI menjadi negara agama tertentu, atau negara berpaham bukan Pancasila. Karena hingga kini, golongan radikal tak pernah berhenti berusaha agar NKRI bubar.
“Kita juga perlu menyuburkan gerakan-gerakan kultur yang mempertinggi kesatuan dan persatuan seluruh rakyat Indonesia. Karena arus mengkotak-kotakkan semakin membesar. Maka perlu juga kritis terhadap idiologi Parpol, dimana Parpol harus jelas berazaskan Pancasila,” kata Maria Goreti.
Akhirnya senator bernomor anggota B-77 ini menghimbau agar generasi muda menegakkan persaudaraan sejati antar pemeluk agama dan kepercayaan, saling pengertian, saling kunjung mengunjungi dan saling menghormati keberbedaan. Selain itu, harus memahami betul makna demokrasi, dimana demokrasi mempunyai basis kesepakatan dasar untuk hidup bersama dalam kebebasan, keadilan dan solidaritas.
(Agustinus Tamen)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H