Pada Sabtu, 6 Juli 2024, Gereja Santo Petrus, Kenten, Palembang mengadakan Misa Minggu Ke-XIV yang bertepatan dengan malam Tahun Baru Jawa, 1 Suro, yang jatuh pada 7 Juli 2024. Misa ini dipimpin oleh Vikjen Keuskupan Agung Palembang, Romo Yohanes Kristianto, Pr, dan Romo Paroki, Romo Gregorius Wahyu Wurdianto, SCJ.
Mengapa Gereja Katolik Merayakan Malam 1 Suro?
Gereja Katolik di Indonesia sering kali mengintegrasikan tradisi budaya lokal ke dalam liturginya, sebuah praktik yang dikenal sebagai inkulturasi. Seperti halnya Tahun Baru Imlek yang dirayakan oleh komunitas Tionghoa, Malam 1 Suro juga dirayakan sebagai bagian dari penghormatan terhadap tradisi Jawa. Ini adalah cara untuk menunjukkan bahwa Tuhan hadir dan menyertai umat-Nya dalam segala situasi dan budaya, termasuk pada malam tahun baru Jawa, yaitu 1 Suro.
Tradisi Jawa di Bulan Suro
1 Suro dikenal sebagai bulan yang sarat dengan tradisi dan ritual adat. Selama bulan ini, masyarakat Jawa biasanya menghindari mengadakan acara besar seperti pernikahan atau sunatan, karena diyakini sebagai bulan yang penuh dengan energi mistis. Pada pagi hari 1 Suro, hujan yang turun dianggap sebagai tanda untuk memandikan semua pusaka, sebuah ritual penting dalam tradisi Jawa.
Misa dan Pesan Pertobatan
Dalam homilinya, Romo Gregorius Wahyu Wurdianto, SCJ mengajak umat untuk membersihkan hidup mereka, bukan sekadar membersihkan pusaka seperti parang, keris, atau tombak. Mereka menekankan pentingnya pertobatan dan refleksi diri, menyadari dosa dan kegelapan dalam hidup, serta mengupayakan persatuan dengan Tuhan (Manunggaling Kawula Gusti).
Tradisi dan Simbolisme
Di Jawa, khususnya di Surakarta dan Yogyakarta, ada tradisi membersihkan alat-alat pusaka. Hal ini melambangkan kesadaran akan identitas dan upaya pertobatan. Tradisi lain termasuk iringan kerbau putih yang mengelilingi keraton Surakarta dan orang-orang yang mengelilingi benteng keraton Yogyakarta. Ini adalah simbol keheningan dan refleksi, di mana umat diharapkan mendengarkan dan merenungkan sabda Tuhan.
Dalam Misa ini, suasana hening dan reflektif dihadirkan melalui alunan gending Jawa dan tarian yang halus. Ini membantu umat memasuki suasana yang tenang, memungkinkan mereka mengalami perjumpaan dan kebersatuan dengan Tuhan.
Gunungan sebagai Ungkapan Syukur
Salah satu elemen budaya yang dihadirkan adalah gunungan, yang melambangkan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Gunungan ini biasanya terdiri dari sayuran dan bahan lainnya, simbol dari sumber kehidupan dan berkat Tuhan.
Nuansa Jawa dalam Liturgi
Lagu-lagu dalam misa inkulturasi diiringi dengan gamelan dari kelompok Langen Eka Budaya pimpinan Bapak St. Karsono. Selain itu, lagu-lagu dalam bahasa Jawa dan bernuansa Jawa turut memeriahkan liturgi. Petugas liturgi, koor, serta para penabuh gamelan mengenakan pakaian Jawa. Umat yang hadir juga banyak yang mengenakan pakaian tradisional Jawa, menambah kesakralan dan kekhasan misa inkulturasi ini.
Melalui misa inkulturasi ini, Gereja Santo Petrus tidak hanya merayakan iman Katolik, tetapi juga menghargai dan mengintegrasikan tradisi budaya lokal, menunjukkan bahwa iman dan budaya dapat berjalan bersama dalam harmoni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H