Mohon tunggu...
Agustinov Tampubolon
Agustinov Tampubolon Mohon Tunggu... Lainnya - Pegiat di Komunitas Bumi dan Youth Earth Society Medan

Kesejahteraan Semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agama, Penyemai Kedamaian di Nusantara

8 September 2020   08:46 Diperbarui: 8 September 2020   08:51 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bangsa Indonesia merupakan himpunan dari kepingan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut beribu jumlahnya dan tentunya menjadikan ini lebih indah. Jika yang ada hanya Jawa maka tidak ada Indonesia, jika yang ada hanya Batak maka tidak ada Nusantara, bahkan jika yang ada hanya Toraja, Papua, dan Aceh, Indonesia pun belum tentu ada. Indonesia menjadi ada jika semuanya ada, suku di Indonesia maksudnya. Sebaran perbedaan ini tentunya telah terikat atau terhimpun oleh Pancasila sebagai ideologi dan bahari sebagai geografi.

Keragaman yang dimiliki bangsa ini sejak dulu kala merupakan keragaman yang harmonis. Tegur sapa, satu kepemilikan, berkumpul, saling mengejek (bukan menista) menjadi karakter yang dimiliki masyarakat Indonesia selaku masyarakat bahari. Kebudayaan bahari yang dimiliki bangsa ini merupakan citra khusus yang dimiliki serta ditunjukkan jauh sebelum negara ini diproklamasikan oleh pendiri bangsa. 

Kehidupan yang harmonis sebagai produk keberagaman yang dirawat, semakin indah kelihatannya dengan ketersediaan sumber daya alam yang melimpah oleh Sang Pencipta. Kehidupan bangsa ini menjadi bak surga, sehingga tidak sedikit bangsa di belahan dunia ini sepertinya iri dengan semua yang dimiliki nusantara, dan tentunya itu merupakan sebuah realita yang tidak harus dan tidak membutuhkan ulasan.

Jika dua paragraf di atas menjelaskan suasana damai yang dimiliki bangsa ini dengan atribut yang positif seperti kehidupan harmonis, tegur sapa, satu kepemilikan, berkumpul, kelimpahan alam, hidup rukun, dan lain sebagainya, mengapa suasana tersebut seolah hilang tidak tersambung oleh medium waktu hingga saat ini.  

Apa hal yang sengaja memutusnya?  Apakah kolonial dengan rentang waktu tiga setengah abad dengan media devide et impera dengan tujuan untuk menguasai bumi nusantara, apakah teknologi dan westernisasi yang menggilas karakter kebangsaan, apakah demokrasi dengan dalih kebebasan, atau apakah kehadiran agama yang tidak dirawat yang disambut kedatangannya sejak abad keempat oleh kerajaan di nusantara?

Cenderung lebih kepada agama -tidak sedang men-generalisasikan pemahaman tetapi lebih kepada sudut pandang personal- karena agama mengajarkan kebaikan, saling menghargai, hidup rukun, dan berkeadilan. Semua yang diajarkan itu merupakan kedamaian yang mungkin tidak ditemukan pada kolonial, westernisasi, bahkan demokrasi saat ini. Agama diamanahkan untuk menyemaikan kedamaian selanjutnya merawat, bahkan menatanya kembali jika ditemukan kerusakan. 

Jika proses ini dilakukan, kita akan menemukan kedamain dinamis yang memiliki progres terhadap kehidupan bangsa yang harmonis. 

Sehingga agama tidak boleh menciptakan kedamaian statis, artinya kedamaian itu hanya berlaku dan terjalin pada satu golongan, sehingga jika terjadi usikan lintas golongan, maka usikan tersebut akan dianggap sebagai ejekan yang negatif, yang harus dituntaskan dengan amarah bukan lantas menganggap usikan itu sebagai ejekan yang positif yang hanya dianggap sebagai lelucon untuk sekedar mengisi suasana agar kelihatan terhibur, sehingga tidak perlu tercipta suasana tersinggung dan amarah. Usikan demikianlah yang merupakan usikan yang berpendidikan yang seharusnya tercitra dari diri bangsa Indonesia.

Kondisi yang terjadi pada bangsa kita saat ini menunjukkan bahwa nilai kedamaian bangsa sedang diuji. Kita harus membuka mata untuk melihat apa faktor yang menimbulkan suasana yang tidak damai ini. Jika saat ini kita mengatakan adanya konflik suku sebagai pemecah bangsa, kita harus dengan tegas manyatakan tidak, karena demikianlah adanya. 

Fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa agama menjadi faktor pemicu konflik horizontal yang sedang terjadi. Saling serang dan saling menyalahkan antar pemeluk agama dengan jelas kita lihat dan rasakan melalui penyampaian langsung secara lisan yang sering dipertontonkan di media televisi, selanjutnya media sosial saat ini juga sangat ramai dan disibukkan dengan muatan saling menghujat oleh antar pemeluk agama.  

Sangat menyedihkan rasanya jika kita melihat anak bangsa disibukkan untuk mengerjakan hal-hal yang tidak berguna tersebut. Usikan dengan cita rasa agama seperti ini diyakini sebagai alat yang paling cepat untuk merongrong kedamaian bangsa pada saat ini. Ditegaskan kembali, agama menjadi pemantik kerusakan nilai kedamaian saat ini. 

Keberagaman agama dibangun menjadi kluster sehingga terciptalah kedamaian yang esklusif, padahal yang diinginkan adalah kedamaian yang inklusif sehingga tercipta sebuah society yang indah laksana kebun bunga dengan bunga yang beragam.

Namun perlu kita tegaskan bahwa ujian tentang kedamaian bangsa ini sedang ditujukan kepada setiap warga negara Indonesia dengan segenap kemajemukannya, namun di sisi lain kita harus mengakui bahwa permasalahan kedamaian ini tidak sedang terjadi di seluruh bumi nusantara ini, masih banyak daerah yang dapat menjaga nilai kedamain tersebut, 

jika kita mengambil contoh, misalnya daerah Sipirok di Sumatera Utara hingga saat ini  masih dianggap berhasil menjadi miniatur toleransi umat beragama, kita bisa melihat masyarakat di sana yang memeluk dua agama besar di Indonesia yakni  Islam dan Kristen hidup saling berdampingan, rukun, dan harmonis. 

Kita juga akan melihat bagaimana rumah ibadah berdiri saling berdampingan di sana, hal demikian mencitrakan bahwa suasana kedamaian pada bangsa ini masih ada. Masyarakat masih sadar bahwa suasana damai dalam kehidupan bermasyarakat diyakini sebagai suatu alat untuk menjaga keutuhan bangsa ini. Agama diyakini memegang peranan yang primer dalam menyemaikan nilai-nilai kedamaian tersebut.

Siapa yang harus disalahkan? Tidak adil rasanya kalau kita menyebutkan para pemimpin agama, tidak adil juga jika pemerintah, bahkan jika kita menyebut pendidikan, semakin tidak adil rasanya. Bagaimana kalau kita menyalahkan seluruh umat yang berperan sebagai mercusuar, akan lebih adil sepertinya, sehingga tidak ada yang terusik. 

Mari kita kembali kepada nilai Pancasila sila pertama sebagai buah pemikiran para pendiri bangsa ini yang menegaskan kepada kita bahwa bangsa ini dengan seluruh keberagamannya senantiasa harus meyakini bahwa kita tertuju pada satu Sang Pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Tentunya afirmasi yang kuat terhadap sila pertama pada Pancasila tersebut akan menggiring kita kepada satu suasana kedamaian yang kita dambakan dan mampu hidup dengan subur di bumi nusantara ini.
 
Agustinov Tampubolon, SE
Pegiat Youth Earth Society, Medan
Alumni FEB Universitas Sumatera Utara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun