Mohon tunggu...
wulanindri
wulanindri Mohon Tunggu... Administrasi - agustin

Pengangguran bahagia

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perjalanan di Sore yang Temaram

3 Juli 2017   12:12 Diperbarui: 3 Juli 2017   14:47 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Pada langit yang serupa lautan

Berlapis rerumput hijau dari pohon menjulang

kadang mengumpul di pulau terpencil bak semak-semak

Matahari gurun pasir menyorotiku membiaskan pandangan

Menjernih memasuki ruang gerombolan pohon sekotak hutan

Jauh di sana kumpulan atap-atap rumah berserak

Barangkali juga toko dan pabrik, besi-besi pemancar mencuat

Selendang abu yang kaku terbawa angin

Sekolam air gemerlapan kemilau di antara petakan sawah

Atap-atap itu kini meloncat di pingiran

Tak bosan penghuninya pada gemuruh teratur yang lewat

Pohon-pohon bambu merunduk mempersilahkan

Alang-alang berbunga bergoyang di pinggir tebing

Tak lama nampak Lukisan pegunungan, pohon kelapa di pinggir sawah

dan awan -- awan yang menggumpal di atasnya

Anak --anak bermain di dekat gubuk kecil memandang kearah kami

Sementara satu dua orang berjalan di antara petak-petak karpet hijau itu

Mentari kali ini ada di sudut mataku di ujung sana

Terapit busa-busa putih hingga sinarnya membentuk hurup s

Cahya kini mulai keunguan, aku bahkan sudah bisa bercermin pada kaca disampingku

Sebelum seorang masinis menghampiri sesaat kala berhenti di stasiun terdekat

Di mana pedagang menjamur di pinggirnya

Begitupun orang-orang yang sekedar berkumpul menunggu waktu

Tak lama serasa,

Pandangan kembali pada deretan pohon pisang dengan pelepah terkulai

Jagung-jagung dengan daun yang mengering

Tegal-tegal singkong, pasak-pasak bamboo yang menyilang

Di rambati serupa tanaman kacang-kacangan

Secuil gambaran tetumbuhan di negeriku

Kereta beristirahat di stasion berikutnya dengan taman tertata

Daun --daun talas yang besar diantara tetanaman lain yang belum tumbuh benar

Dalam kereta, keluarga-keluarga yang ribut oleh suara anak mereka

Penumpang yang mengobrol, penumpang yang bertelpon

Menyeruak suara khas angkutan masa ini yang terdengar sesekali

Panjang pendek sebelum memasuki perlintasan bersama

Perlahan cayaha di dalam lebih terang dari cahaya alami di luar sana

Mentari lebih keemasan dari sebelumnya

Menerpa ujung-ujung pohon berdaun carang,

Di mana layang-layang yang tersangkut dicabangnya masih terlihat

Meski sang hitam perlahan pekat

Lampu-lampu rumah, kendaraan mulai menyala seluruh

Kemerah-merahan, kekuningan, putih terang

Repleksi di dalam kian kentara

Rumput, tanah dan atap bahkan sawah mulai nampak membaur menuju gelap

Ruam-ruam putih pada langit yang kian kelabu

Seulas lembayung merah tersisa di ujung sana

Lampu-lampu kini seperti titik terang di kejauhan

Seperti suara azan magrib yang berkumandang di akhir perlintasan ku

Titik terang di hari itu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun