Belum ada kode etik atau aturan tertentu yang dapat dijadikan acuan dalam melakukan citizen journalism. Adapun UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang baru saja disahkan, masih memiliki beberapa pasal yang multitafsir. Seperti misalnya Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 3. Pasal 27 ayat 1 tersebut berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan." Adapun pasal 27 (2) berbunyi, "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Pasal 27 ayat 3 UU ITE tersebut, digunakan untuk menuntut Prita Mulyasari dan Luna Maya. Kita tahu bahwa Prita mengirimkan email kepada ke-dua puluh temannya mengenai keluh kesahnya terhadap pelayanan RS Omni International. Sedangkan batasan-batasan mengenai penghinaan, pencemaran nama baik, atau fitnah seperti yang terkandung dalam pasal tersebut tidak jelas dan masih multi tafsir. Apakah keluh kesah dapat dikatakan sebagai fitnah atau pencemaran nama baik sehingga karenanya dipakailah Pasal 27 ayat 3 tersebut untuk menuntut Prita?
Sepanjang masih multitafsir seperti itu, UU ITE belum bisa dijadikan acuan dalam melakukan citizen journalism.
Kebenaran dan keakuratan berita yang disajikan melalui citizen journalism, menjadi tanggung jawab masing-masing pihak yang menyajikan berita tersebut. Mengenai bahasa yang digunakan,apakah bahasa jurnalistik atau bukan, menggunakan kaidah jurnalistik atau tidak, menjadi semacam prerogative bagi pihak yang membuatnya. Tidak akan ada yang menuntut jika kita membuat sebuah berita dalam blog pribadi kita dengan menggunakan bahasa yang membingungkan. Yang jelas, kita harus mengingat bahwa tujuan awal adanya citizen journalism ini adalah untuk melengkapi berita yang sudah ada, bukan sebagai berita utama. Maka, sebagai konsumen informasi, masyarakat harus senantiasa mempertahankan sikap kritisnya terhadap berita yang disajikan. Tidak menelan mentah-mentah berita tersebut karena kini, setiap orang bisa menjadi reporter, terlepas dari apakah ia adalah orang yang berkredibel menulis berita atau tidak.
Perkembangan teknologi memungkinkan siapa saja dapat memproduksi dan mengakses informasi. Inilah era yang disebut Alvin Toffler, seorang futurolog pada 1980-an, sebagai era prosumsi (produksi dan konsumsi). Publik atau masyarakat bisa menjadi produsen dan konsumen informasi sekaligus.
Citizen journalism adalah sebuah konsep jurnalistik yang menjadikan masyarakat sebagai objek sekaligus subjek berita. Dari sisi historis, hal ini bukan sesuatu yang menakjubkan dan mengherankan sebenarnya. Hal ini dikarenakan semua kegiatan jurnalistik sebenarnya bermula dari sebuah naluri. Naluri itu adalah naluri ingin tahu dan naluri ingin memberitahukan. Kedua naluri ini ada dalam diri manusia sejak lahir. Kemudian, berkembang menjadi sebuah hak asasi manusia (HAM) yang diakui secara universal. Hak tahu dan hak memberitahukan telah tersirat dan tersurat dalam beberapa undang-undang, antara lain: pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM), pasal 28F Undang-undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 4 ayat 3 Undang-undang Nomor 40/1999 tentang Pers (UUP), dan pasal 6 UUP. (Sahat Sahala Tua Saragih dalam artikel Wawancara (dalam Konteks Jurnalisme)) Karena keterbatasan tiap orang untuk mengaktualisasikan hak-hak tersebut, masyarakat menyerahkan mandat kepada wartawan untuk mengaktualisasikan hak tahu dan memberitahukan lewat media massa cetak, elektronik, dan online.
Di era sekarang, dengan pesatnya kemajuan teknologi, setiap orang bisa menyampaikan berita yang diperolehnya biasanya lewat blog dan jejaring sosial lewat internet. Dengan demikian, apakah setiap orang bisa dikatakan sebagai jurnalis? Menulis di blog misalnya, belum tentu berita yang ditulis merupakan sebuah fakta yang akurat dan benar. Bisa jadi tulisannya hanya berisi curahan hati atau hal-hal subjektif lainnya yang tidak sesuai dengan tugas pers atau jurnalis yang Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Walaupun demikian, menurut saya, peranan pers atau wartawan masih sangat dibutuhkan di era sekarang ini. Masyarakat menulis di blog atau jejaring sosial mana pun tetapi sebatas peranan mereka sebagai masyarakat. Sedangkan jurnalis, merupakan orang yang benar-benar punya kewajiban atas pekerjaannya mengungkapkan fakta baik fakta sosiologis maupun fakta psikologis dari suatu peristiwa atau permasalahan.
Walaupun tidak ada undang-undang yang menyebut masalah citizen journalism, tetap saja kebebasan itu tidak bisa dimanfaatkan seenaknya. Wimar Witoelar (seseorang yang ahli dalam hal blogging, komunikasi, media,dan jurnalistik) mengatakan, aturan itu diperlukan mengikuti gejalanya. Banyak orang bilang sedia payung sebelum hujan, tapi bagi dia, ngapain bawa payung kalau tidak ada gejala mau hujan? Wimar juga mengatakan untuk tidak membatasi blog.
Hal yang menarik dalam citizen journalism adalah layaknya konsep demokrasi dari rakyat untuk rakyat, berita disampaikan oleh masyarakat dan dikembalikan ke masyarakat lagi.
Pada dasarnya kegiatan yang dilakukan dalam citizen journalism memang kegiatan jurnalistik pada umumnya, yaitu mencari, mengumpulkan, mengolah, dan menyampaikan informasi, berita atau realitas. Di sisi lain, jika dikaitkan dengan Kode Etik Jurnalistik, ada beberapa hal yang mungkin masih perlu dipertanyakan dalam konsep citizen journalism ini.
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Penafsiran dan pendapat:
a.Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Jika dikaitkan dengan suara hati, mungkin bisa saja jujur, tapi, tak jarang juga pendapat teman atau kerabat bisa memengaruhi tulisan, misalnya di blog.
b.Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
Kalau yang dilaporkan memang sesuai dengan keadaan aslinya, saya rasa tulisan itu bisa akurat.
c.Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
Hal ini kemungkinan tidak bisa sepenuhnya dilakukan karena orang cenderung menulis dengan hanya mendapat informasi dari satu sumber, tidak seperti para jurnalis sebenarnya yang bisa lebih mengekplor dan memperdalam informasi.
d.Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Hal ini juga kemungkinan akan dilanggar bila tulisan itu hanya curahan hati semata.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran:
Cara-cara yang profesional adalah:
a.menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b.menghormati hak privasi;
c.tidak menyuap;
d.menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e.rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
e.menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
f.tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
g.penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita
h.investigasi bagi kepentingan publik.
Menurut pendapat saya, pasal ini sebagian besar memang untuk jurnalis sejati.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.