Desa Sei Tekam, Kecamatan Sekayam merupakan desa binaan Nusantara Sehat Tim Based Balai Karangan. Banyak permasalahan kesehatan yang kami temui di Desa Sei Tekam. Pada Kesempatan ini saya ingin menceritakan keadaan ibu hamil di Perbatasan Indonesia-Malaysia, Desa Sei Tekam, Kecamatan Sekayam, Kab Sanggau Provinsi Kalimantan Barat.
Tiba di desa dan berhasil menerima curhatan ibu hamil membuat hati kami merasa senang. Seorang teman saya yang berprofesi sebagai bidan menjawab apa saja yang ingin mereka ketahui tentang ibu dan anak. Para ibu di Desa Sei Tekam masih melakukan hal-hal yang menjadi kebiasaan nenek moyang. Contoh sederhana yang mereka lakukan saat hamil adalah mereka dilarang makan ikan, alasannya takut saat melahirkan darahnya berbau amis (seperti bau ikan).
Mayoritas masyarakat melahirkan di dukun kampung. Bidan yang menetap di desa selalu menyampaikan kepada para ibu bahwa bahaya melahirkan jika tidak ditolong oleh bidan. Namun jawaban sederhana mereka adalah, “Kami tidak punya biaya untuk melahirkan di bidan desa”. Sedih rasa hati mendengar hal itu. Setelah kami telusuri tentang alasan tersebut, ternyata alasan ini tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Biaya persalinan yang ditolong oleh dukun kampung mungkin tidak berbeda jauh dengan biaya persalinan di bidan desa. Biaya persalinan oleh dukun kampung telah disepakati oleh masyarakat yaitu peraturan adat sebesar Rp 200.000,- itu belum termasuk “pengeras”, pasti kita penasaran apa itu pengeras.
Pengeras adalah permintaan dari dukun kampung beberapa jenis barang yang akan diberikan kepadanya setelah proses persalinan selesai. Contoh barang pengeras, benang jahit sebagai pengganti urat-urat mereka yang sudah putus saat melahirkan (piring, parang, kain panjang harus berjumlah 6 dan harus berkualitas tinggi). Barang-barang tersebut adalah syarat yang harus mereka berikan kepada dukun kampung. Jika dihitung biayanya hampir sama dengan biaya melahirkan di bidan desa. Masyarakat juga mengatakan ada jampi-jampi yang dapat menghentikan pendarahan pada ibu yang akan melahirkan.
Hal Itu yang juga menjadi alasan mereka untuk tetap melahirkan di dukun kampung. Terpaku aku saat mendengarkan pernyataan ini. Mereka masih memercikkan air yang diarahkan pada ibu hamil dan membacakan mantra-mantra yang tidak kami ketahui apa isinya. Mulut dukun kampung ini hanya komat-kamit sambil menyemburkan isi di dalam mulutnya yang berwarna merah kepada ibu yang akan melahirkan. Kami melihat kejadian tersebut saat ada seorang ibu yang melahirkan dan dia memanggil dukun kampung. Setelah anaknya lahir, plasentanya atau istilah dalam bahasa mereka tembuni, tidak dapat keluar. Ia sudah berusaha sekitar kurang lebih 3 jam untuk mengeluarkannya.
Karena khawatir ibu melahirkan meninggal, akhirnya mereka memanggil kami sebagai tenaga kesehatan untuk melakukan pertolongan. “Hal-hal inilah yang selalu terjadi selama ini,” curhat bidan desa yang tinggal di Desa Sei Tekam. Mereka hanya memanggil bidan desa jika terjadi pendarahan dan tanda-tanda bahaya pada ibu yang akan bersalin. Hanya sebagian kecil yang bersedia melahirkan ditolong oleh bidan desa. Sebagai tenaga kesehatan yang diturunkan secara tim, kami berkolaborasi dan mencari solusi bagaimana cara menangani permasalahan tersebut.
“Persalinan harus dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan”, menurut PERMENKES RI No 97 tahun 2014. Pertanyaannya, bagaimana mereka harus melahirkan di fasilitas kesehatan, kalau melahirkan dengan tenaga kesehatan saja mereka masih ragu? Apa penyebabnya? Rendahnya tingkat pengetahuan yang didasari pada tingkat pendidikan yang masih rendah. Pada umumnya masyarakat banyak yang tidak sekolah atau hanya lulusan SD dan SMP. Mengapa? Terbentur biaya? Atau dukungan dari keluarga yang tidak ada? Lalu, jika ada sebagian orang yang melahirkan dengan tenaga kesehatan, akan sulit untuk mereka melahirkan di fasilitas kesehatan. Kenapa? Jalan yang harus dilalui cukup sulit. Jalan rusak dan terkadang banjir mengahalangi perencanaan untuk melahirkan di fasilitas kesehatan.
Pada umumnya masyarakat menikah sekitar pada usia sekitar 14-18 tahun. Jadi setelah lulus SD atau SMP mereka akan menikah. Pernikahan dini merupakan salah satu alasan banyak ibu hamil yang berisiko tinggi yang kami temui Desa Sei Tekam. Untuk mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan, kami memberi tanda bendera kecil berwarna merah di depan rumah setiap ibu hamil yang berisiko tinggi. Tujuannya, agar masyarakat belajar peduli terhadap tetangganya dan mengingatkan tetangganya untuk terus periksa kehamilan ke bidan desa. Sebelum menandai rumah ibu hamil, kami telah melakukan MMD (musyawarah masyarakat desa) untuk menyampaikan kepada masyarakat tentang rumah yang ditandai bendera berwarna merah. Kami ingin memberikan info, bahwa memang benar ada buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) atau biasa disebut juga Buku PINK namun pendistribusiannya tidak merata karena jumlahnya yang terlalu sedikit.
Kita tahu di dalam buku PINK tersebut terdapat Kartu P4K yang akan ditempel di depan rumah ibu hamil sebagai penanda bahwa ada ibu hamil di dalam rumah. Bagaimana dengan penempelan P4K dapat terlaksana (Perencanaan Persalinan dan Penanganan Komplikasi) jika jumlah pendistribusiannya tidak sesuai dengan jumlah ibu hamil?
Kami melakukan sweeping pada ibu hamil KEK lalu memberikan makanan tambahan kepada ibu hamil yang Kekurangan Energi Kronik (KEK), serta kepada ibu hamil yang berisiko tinggi. Harapan kami hanya sederhana, agar kiranya angka kematian ibu dan bayi menurun. Jika belum dapat turun, setidaknya masyarakat disini mengetahui BAHAYA jika menikah di usia muda serta melahirkan di tolong oleh dukun kampung.
Suatu perubahan tidak akan mudah untuk diterima bahkan untuk diterapkan secara cepat. Akan tetapi mereka mempunyai hak untuk mengetahui bahwa kesehatan memang penting. Berawal dari mereka mengetahui terlebih dahulu setelah itu harapan kami mereka menerapkan sedikit demi sedikit apa yang telah kami berikan, mungkin penerapannya 2 tahun lagi, 3 tahun lagi atau kapan kami tidak tahu. Perubahan butuh proses dan waktu yang tidak singkat.
Teman, ini hanya sebuah coretan sederhana yang aku tuliskan sekedar untuk membagikan apa yang aku lihat di desa pedalaman. Aku melihat, saudara kita yang kesulitan dan mereka sangat butuh dukungan dari kita. Ketika aku menatap sorot matanya, ada keinginan untuk mereka merasakan terlengkapinya segala jenis kebutuhan seperti yang kita miliki ini. Cara mereka berbicara seperti seakan-akan menuntun hak mereka sebagai manusia yang harus dimanusiakan. Tidak ada yang dapat disalahkan. Aku hanya ingin mengajak kawan yang tinggal di kota untuk menengok saudara kita yang jauh di pelosok.
Bagilah apa yang kamu miliki, walau sedikit itu sudah cukup menghibur mereka. Bukan dalam bentuk materi saja, pengetahuan yang kalian miliki dapat diberikan sebagai tambahan ilmu untuk mereka. Berliburlah ke desa, jangan terlalu lama melihat kota, agar kita dapat menegtahui bagaimana caranya bersyukur di saat kesusahan. Teman, ayo buka harapan mereka. Agar mereka tidak merasa dianaktirikan bahkan terisolasi.
KARENA KITA SEMUA SAMA.
Nusantara Sehat Balai Karangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H