Akhirnya Imlek 2025 tiba dan saya seperti biasa, senantiasa antusias menyambutnya. Bukan sebab menerima banyak angpau. Bukan pula sebab bisa berkumpul dengan seluruh keluarga untuk merayakan Imlek.
Tidak, tidak. Saya berdarah Jawa 100 %. Tampang saya pun tak ada nuansa Tionghoanya sama sekali. Bahkan, tak ada yang berbaik hati memberi angpau kepada saya di tiap Imlek.
Saya antusias dengan datangnya Imlek karena suka dengan lampion-lampion cantiknya yang berwarna merah. Plus suka sekali menonton pertunjukan barongsai.
Beruntunglah saya sebab tinggal tak jauh dari 3 kawasan pecinan di Yogyakarta. Ketiganya adalah Ketandan, Beskalan, dan Pajeksan. Bahkan, Beskalan dan Ketandan masih satu kalurahan (yaitu Kalurahan Ngupasan) dengan kampung tempat saya berdomisili.
Beruntungnya lagi, Ketandan merupakan kawasan heritage. Rutin pula menjadi lokasi PBTY (Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta). Dengan demikian, tiap Imlek saya mudah melihat-lihat lampion dan menonton pertunjukan barongsai.
Tahun ini juga begitu. Tanggal 29 Januari 2025 pada pukul 14.00 WIB tadi, ada pertunjukan barongsai dan liong di Atrium Plaza Malioboro. Tentu seperti yang lalu-lalu, saya antusias menyimaknya.
Namun, kali ini ada rasa yang sedikit berbeda. Mengapa? Sebab sekarang saya lebih peduli dengan mereka yang memainkan barongsai. Biasanya 'kan sekadar menonton dan memotret atau bikin video. Tidak peduli dari mana asal-usul para pemain barongsai itu.
Bahkan, sekarang saya tahu di mana barongsai-barongsai yang beredar di Yogyakarta diproduksi. Tahu pula asal-usul penarinya. Mari. Saya akan menceritakannya kepada Anda sekalian.
Pak Pong dan Bengkel Kerjanya