Saya termenung saat membaca artikel berjudul "Teman Bus Jogja Berhenti Beroperasi, Tak Ada Layanan Prima Bagi Penumpang Lagi" yang ditulis oleh Mas Ikrom Zain. Sebagai pengguna setia transportasi publik di Yogyakarta, artikel tersebut membuat saya bertanya-tanya.
Kok bisa ya, beliau menyimpulkan bahwa pasca berhentinya operasional Teman Bus di Yogyakarta, tak ada lagi layanan prima bagi penumpang? Akan tetapi, saya kemudian menyadari bahwa perasaan dan pengalaman tiap orang berlainan. Maka wajar jika perasaan dan pengalaman saya terkait transportasi publik di Yogyakarta berbeda dengan beliau.
Menurut saya, Krisis Transportasi Publik pasca hilangnya armada Teman Bus tidak terjadi di Yogyakarta. Ketika rute yang biasa dilayani Teman Bus dioper ke Trans Jogja, itu pun berlangsung baik-baik saja. Tak ada gejolak dari para pengguna (penumpang).
Perubahan 'kan cuma terjadi pada pihak pengelola. Out put layanan ke penumpang sama saja. Ibaratnya, ada perubahan yang tidak berubah. Lagi pula, yang terpenting bagi penumpang adalah transportasi umum masih tersedia. Tentu dengan jadwal keberangkatan yang jelas dan jarak antarbus yang tidak kelamaan.
Terkait hal itu, layanan Trans Jogja sudah tergolong baik. Jumlah bus untuk jalur-jalur ramai penumpang memadai. Dengan demikian, headway lebih singkat.
Yang menarik, ada satu jalur yang tampaknya didesain untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Jalur itu berangkat dari Malioboro menuju Prambanan tanpa muter-muter sehingga waktu tempuh lebih cepat. Selain itu, bus yang tersedia juga dipilihkan yang versi terbagus.
Tak mengherankan kalau banyak wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara, yang menaikinya. Nah. Wisatawan senang, warga lokal pengguna regulernya juga senang.
Kalau baca-baca berita jelang pemberhentian Teman Bus Jogja memang terkesan bakalan ribet. Jalur ini diganti ini, jumlah armadanya menjadi sekian, akibatnya headway antarbus bertambah lama. Akan tetapi, fakta di lapangan saya rasakan tak seburuk yang dibayangkan (diberitakan).
Mungkin penyebabnya, saya dan warga Yogyakarta lainnya pernah berada dalam situasi yang lebih buruk. Tatkala transportasi publik masih era Kopata, Kobutri, dan Damri (yang kemudian semua diganti dengan Trans Jogja), headway antarbus sungguh abstrak. Bisa 5 menit, bisa pula sepanjang jalan kenangan. Tak jelas dan tak ada petugas yang dapat dimintai kejelasan.
Perlu diketahui bahwa sebelum era Trans Jogja, bus kota bisa menaikkan dan menurunkan penumpang di mana saja. Tak ada halte bus. Kalau sudah sore, tak jarang penumpang diturunkan sembarangan sebab bus buru-buru mau pulang ke garasi.
Ongkos naik memang dikembalikan, tetapi penumpang terpaksa mencari kendaraan lain untuk sampai ke tujuan. Sungguh merepotkan dan kurang ajar. Syukurlah era kegelapan layanan transportasi umum seperti itu telah berakhir.
Tentang layanan prima, sejauh menyangkut kenyamanan bus juga tak ada masalah. Armada Trans Jogja mungkin tak semewah armada Teman Bus. Namun, para penumpang reguler tidak terganggu dengan fakta itu. Yang terpenting jadwal kedatangan bus di halte telah pasti.
Di atas semuanya, terusterang naik Trans Jogja lebih simpel daripada Teman Bus. Naik Teman Bus agak ribet kalau hendak ganti jalur lain yang merupakan rute Trans Jogja. Sekarang dengan hilangnya Teman Bus, berarti keribetan tersebut hilang.
Terkait ongkos, Trans Jogja masih menerima pembayaran dengan uang tunai. Sementara Teman Bus cuma menerima nontunai. Ini perkara yang terlihat sepele. Namun, terasa rumit bagi orang-orang yang belum terbiasa bertransaksi nontunai.
Pengalaman saya, suatu siang dari sebuah halte portable saya asal naik bus. Saya kira Trans Jogja, ternyata Teman Bus. Saya tak punya e-money, kartu trip berlangganan, dan GoPay kosong. Otomatis cuma bisa membayar tunai.
Sementara sopir tidak mau menerima pembayaran tunai. Solusinya, saya disuruh membayar tunai di halte terdekat (halte yang ada petugasnya). Jadi di halte tersebut saya turun, membayar ongkos, lalu naik Teman Bus lagi.
Cukup baik hati memang karena mau menunggu. Tidak asal disuruh turun. Akan tetapi, rasanya sedikit merepotkan. Terlebih saat itu saya yang semula duduk menjadi kehilangan kursi ketika kembali masuk bus.
Mas Ikrom Zain juga mengemukakan bahwa beliau yang tinggal di Surabaya merasa tidak enak kepada warga Yogyakarta karena bus-bus yang dulunya merupakan armada Teman Bus Jogja, kini dicat ulang untuk dipergunakan di Surabaya. Hmm. Santai saja, Mas. Tak lama lagi di Yogyakarta ada bus listrik. Mulai tanggal 20 Januari 2025 bahkan uji coba untuk publik telah dibuka.
Bus listrik itu hadir sebagai pelengkap Trans Jogja. Terkhusus untuk melayani rute Kawasan Sumbu Filosofi. Meskipun sasaran utamanya mungkin kaum wisatawan, pengguna reguler transportasi publik boleh-boleh saja menjadi penumpang tetap. Terlebih yang berdomisili di sekitar Kawasan Sumbu Filosofi seperti saya.
Perlu diingat, segala hal yang dikemukakan di sini berdasarkan sudut pandang seorang pengguna reguler. Pihak yang butuh angkutan umum dalam aktivitas keseharian sebab lebih hemat. Jadi, faktor kenyamanan dan estetika desain interior bus menjadi prioritas nomor sekian.
Asalkan bus tidak bobrok, dapat berjalan lancar tanpa rewel mesin, dan bodinya tidak karatan di sana-sini, sudah termasuk nyamanlah. Tak perlu penambahan printilan estetika yang sifatnya cuma tersier. Kalau ternyata pengelola mendesain bus seindah dan senyaman mungkin, itu bonus yang patut dinikmati. Bukan tuntutan dari pengguna reguler.
Pengelola bus pun bisa jadi tidak bermaksud memanjakan pengguna reguler. Kenyamanan optimal itu sesungguhnya mungkin dipersembahkan bagi para wisatawan. Bukankah Yogyakarta adalah kota wisata? Namun, tak ada salahnya warga lokal penumpang setianya ikut menikmati pelayanan optimal tersebut.
Sekali lagi, yang paling penting bagi pengguna reguler adalah ketersediaan bus dengan headway singkat. Plus bisa menjangkau semua wilayah kota dan sekitarnya. Pokoknya kalau Trans Jogja bisa untuk menjelajahi semua penjuru mata angin, itu keren sekali. Sesuai dengan tagline yang dipakai, yaitu Sang Penjelajah Andalan.
Syukurlah tagline itu sejauh ini bukan sekadar pepesan kosong. Bersama seorang kawan, saya beberapa kali menyempatkan diri untuk naik Trans Jogja di luar jalur-jalur yang biasa kami pakai.
Hasilnya? Lumayan memuaskan. Banyak lokasi yang biasanya cuma dapat dijangkau dengan kendaraan pribadi, kini bisa dijangkau dengan Trans Jogja. Dalam arti lokasi-lokasi itu tak hanya dilewati Trans Jogja, tetapi juga didukung oleh ketersediaan halte portable yang posisinya tak jauh dari situ.
Kondisi tersebut jelas menyenangkan orang-orang yang tak punya kendaraan pribadi. Jika sebelumnya mesti naik ojek kalau hendak ke situ, sejak tersedia layanan Trans Jogja rute ke situ menjadi lebih hemat ongkos transportasinya.
Sejauh ini saya mencatat, yang mendesak untuk segera diatasi adalah transportasi publik dari Terminal Pakem ke beberapa objek wisata di sekitarnya. Misalnya ke Taman Wisata Kaliurang dan Museum Gunung Merapi.
Saat ini halte terakhir Trans Jogja di wilayah utara berada di Terminal Pakem. Masih terlalu jauh untuk berjalan kaki menuju objek-objek wisata yang ada di kawasan Kaliurang. Satu-satunya angkutan umum adalah ojek pangkalan. Yang pastinya relatif mahal.
O, ya. Di samping semua hal menyenangkan yang telah disebutkan di atas, ada satu hal yang patut disayangkan dari jadwal operasional Trans Jogja. Dari yang semula pukul 05.30 WIB - 21.30 WIB menjadi 05.30 - 20.30 WIB.
Itu pun dengan catatan *sampai halte terdekat. Jadi, kalau pada pukul 20.30 WIB Trans Jogja yang Anda tumpangi masih jauh dari tujuan Anda, mau tak mau Anda mesti turun di halte terdekat. Dari halte itu bus akan langsung pulang ke garasi.
Dalam situasi seperti itu ada dua alternatif. Pertama, Anda melanjutkan perjalanan dengan transportasi daring. Kedua, jika ternyata tujuan Anda malah dilewati Trans Jogja yang hendak ke garasinya, Anda bisa minta izin ke driver untuk tetap menumpang.
Demikianlah sepotong cerita tentang kondisi transportasi publik di Yogyakarta, pasca Teman Bus Jogja berhenti beroperasi. Bukan merupakan kabar buruk 'kan? Terusterang ada banyak hal yang bikin kesal di Yogyakarta. Namun, untungnya ada Trans Jogja yang masih bisa bikin muka berseri-seri.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H