Tempo hari saya dan kawan-kawan berkesempatan mengikuti Kunjung Cagar Budaya yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Sleman. Cagar Budaya yang menjadi destinasi kami adalah Candi Sari dan Candi Kalasan.
Pucuk dicinta ulam tiba. Saya yang telah lama ingin mengunjungi kedua candi tersebut merasa sangat antusias. Terlebih yang menjadi edukator adalah Mas Erwin (Komunitas Malamuseum) dan Mbak Sinta (Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X). Jadi, informasi yang disampaikan terkait Candi Sari dan Candi Kalasan dijamin valid.
Pastilah ada banyak pengetahuan dan wawasan yang saya peroleh dari kegiatan Kunjung Cagar Budaya. Tidak melulu tentang yang serius-serius, tetapi juga yang unik-unik.
Yang serius pastilah yang terkait dengan sejarah berdirinya candi yang bersangkutan. Dalam hal ini Candi Sari dan Candi Kalasan, yang tempo hari kami kunjungi. Tentu saja begitu, ya. Bicara sejarah memang harus serius. Data dan fakta yang disampaikan harus valid. Kalau sembrono jatuhnya hoaks dan fiksi.
Itulah sebabnya saya selalu mengangkat topi tinggi-tinggi kepada para sejarawan. Jangankan kepada sejarawan. Kepada orang-orang yang hafal dan paham sejarah suatu Cagar Budaya pun saya kagum. Kok bisa ya, ingatan mereka setajam itu?
Jujur saja saya kesulitan mengingat data dan fakta sejarah yang serius. Lain perkara kalau untuk perkara gokil dan unik. Saya cenderung mudah mengingatnya. Misalnya perihal arca-arca dan bebatuan candi yang raib. Yang ternyata proses hilangnya kadangkala bikin kesal sekaligus menggelikan.
Sebelumnya saya memang sudah tahu kalau ada warga masyarakat yang mengambil batu candi untuk keperluan pribadi. Akan tetapi, manakala Mas Erwin dan Mbak Sinta menceritakan tentang berbagai cara raibnya arca dan batu candi, saya terhenyak.
Ternyata, oh, rupanya. Pihak kolonial Belanda juga kanibal batu candi. Justru lebih masif daripada warga masyarakat yang bertindaknya perorangan. Yang palingan ambil satu atau dua batu sesuai dengan kebutuhan. Sementara pihak kolonial Belanda mengambilnya untuk kepentingan bikin jalan. Yang berarti mengambil dalam jumlah lebih banyak. Sekali angkut bisa satu truk 'kan?
Saya salah sangka. Selama ini saya berpikiran bahwa cuma penduduk lokal yang melakukan pengambilan batu candi. Rupanya pihak kolonial Belanda justru lebih suhu.
Saya kian terhenyak manakala menerima informasi bahwa pihak kolonial Belanda pun telah mengutak-atik bangunan Candi Prambanan. Yang berdampak rusaknya batu-batu asli candi tersebut saat diguncang gempa.
Tampaknya bermaksud baik. Berniat memperkokoh bangunan candi dengan menambahkan bahan modern. Akan tetapi, rupanya hal itu justru menghancurkan batu candi yang asli tatkala ada gempa besar melanda DIY.
Namun, baiklah. Semua memang harus terjadi. Sebagai benda Cagar Budaya yang bersifat fisik, bangunan candi lambat-laun bisa mengalami kerusakan. Sebesar apa pun upaya untuk mempertahankan kekokohan bangunan candi, potensi punah tetap ada. Jangan lupa. Candi buatan manusia. Bukan ciptaan Tuhan.
Adapun potensi punah bisa berasal dari cuaca, alam, bahkan manusia sendiri. Jadi terlepas dari sengaja atau tidak, fakta menunjukkan bahwa manusia bisa menjadi ancaman bagi eksistensi candi. Sementara mestinya manusialah yang memelihara kelestarian Cagar Budaya, termasuk candi.
Itulah sebabnya kegelisahan Ibu Endah dari Dinas Kebudayaan Sleman terhadap kelestarian candi-candi, terkhusus yang ada di wilayah Sleman, sangat dapat dipahami. Apa boleh buat? Jangankan bicara tentang kelestarian yang ujungnya mengajak khalayak untuk peduli. Sekadar membuat khalayak berkunjung ke candi pun tak mudah.
Harus diakui bahwa wisata candi merupakan wisata minat khusus. Sekolah-sekolah memang banyak yang mengajak para siswa untuk berwisata ke candi. Dalam sekali kunjungan bisa ratusan siswa yang ikut. Yang bisa jadi, cuma satu atau malah tak ada sama sekali yang sungguh-sungguh menikmati kunjungan tersebut.
Tak perlu naif. Mereka ke candi sebab ikut rombongan sekolah. Bukan atas inisiatif pribadi 'kan? Itu pun destinasinya selalu candi yang besar-besar. Salah satunya Candi Prambanan yang termasuk ke dalam wilayah Sleman.
Apa hendak dikata kalau kenyataannya candi itu lagi-candi itu lagi yang dikunjungi? Maka perlu dicari terobosan supaya candi-candi kecil di Sleman juga ramai dikunjungi wisatawan.
Tentu saja langkah pertamanya adalah memperkenalkan candi-candi itu kepada khalayak. Tanpa diperkenalkan, mustahil publik awam tahu keberadaan Cagar Budaya tersebut. Kalau di mana-mana adanya baliho Candi Prambanan, mana mungkin orang-orang tahu kalau ada Candi Sari dan Candi Kalasan di dekatnya?
Saya kira langkah Dinas Kebudayaan Sleman menyelenggarakan Kunjung Cagar Budaya sudah tepat. Terlebih yang diajak merupakan kalangan pekerja kreatif. Misalnya yang satu rombongan dengan saya adalah putra-putri batik, pelaku UMKM batik, dan narablog (blogger).
Selama kunjungan ke Candi Sari dan Candi Kalasan, putra-putri batik dan pelaku UMKM batik diberi waktu khusus untuk membuat sketsa batik. Mereka dipersilakan mengambil inspirasi dari relief-relief yang menghiasi kedua candi tersebut.
Perlu diketahui, Candi Sari dan Candi Kalasan adalah candi Buddha tertua di Sleman. Keduanya kaya relief yang unik dan menarik. Nah! Poin inilah yang menyebabkan keduanya terpilih sebagai destinasi kami. Sesuai dengan tujuan dan tipe peserta rombongan.
Hingga menulis artikel ini saya belum melihat hasil karya putra-putri batik dan pelaku UMKM batik. Namun berdasarkan paparan ide yang dipresentasikan di penghujung acara Kunjungan Cagar Budaya, motif batik yang dihasilkan pasti keren. Semoga betulan keren dan ada yang berani punya ide out of the box.
Sungguh. Saya antusias untuk melihat hasil karya mereka. Mengapa? Sebab karya-karya tersebut merupakan upaya untuk memperpanjang usia Cagar Budaya. Dalam hal ini mengawetkan Candi Sari dan Candi Kalasan dalam ingatan publik. Kiranya ini sebentuk antisipasi jikalau suatu hari nanti candi-candi tersebut secara fisik sudah makin tak berbentuk.
Jika karya yang terinspirasi oleh relief-relief Candi Sari dan Candi Kalasan menjadi produk komersial yang sesuai dengan selera zaman, tentu bakalan dipakai khalayak luas. Terlebih kalau secara fungsional dapat dipakai untuk keseharian. Plus harga jualnya terjangkau.
Jadi, selaras dengan apa yang disasar kegiatan Kunjung Cagar Budaya yang kami ikuti. Perlu diketahui, penyelenggaraan Kunjung Cagar Budaya oleh Disbud Sleman bertujuan memberikan informasi dan menumbuhkan kesadaran masyarakat akan peran penting Cagar Budaya dalam rangka penguatan ketahanan budaya dan identitas bangsa.
Syarat harga terjangkau itu patut digarisbawahi. Sebab produk eksklusif yang berharga mahal, bakalan sangat terbatas konsumennya. Boleh saja ada versi batik tulis yang mahal, tetapi imbangilah dengan memproduksi batik cap yang berharga lebih murah.
Sampai di sini saya teringat kerudung dan pin yang dikenakan edukator kami, yaitu Mbak Sinta dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X. Kerudungnya bermotif lukisan Kerajaan Majapahit. Adapun pinnya mirip dengan pin yang saya peroleh dari Disbud Sleman beberapa tahun silam.
Kerudung dan pin Mbak Sinta serta tempelan kulkas dan pin saya adalah contoh produk komersial yang dapat dipakai sehari-hari. Tetap mengandung kampanye Cagar Budaya, tetapi fungsional. Harganya pun tidak mahal.
Kalau kreatif, sebetulnya ada banyak cara untuk mengawetkan Cagar Budaya. Selain contoh yang telah tersampaikan di atas, bisa pula diabadikan melalui lukisan di botol minum, kotak bekal anak TK, dan lain-lain. Melalui tulisan pun bisa.
Seorang teman yang saya kenal dari aktivitas Jogja Walking Tour by Komunitas Malamuseum pernah menerbitkan novel yang berlatar belakang candi, padahal sebelumnya dia tak pernah kepikiran untuk menjadi novelis. Bukankah ini sebuah bukti bahwa Cagar Budaya berpotensi memantik inspirasi untuk berkarya?
Saya pikir bekerja sama dengan PSS Sleman juga menarik. Sleman itu gudang candi. Fakta tersebut tentu membanggakan dan bisa menguntungkan secara ekonomis.
Sementara PSS Sleman merupakan klub sepakbola kebanggaan warga Sleman yang berpotensi mendatangkan cuan. Jadi, alangkah dahsyat kalau keduanya dikolaborasikan.
Why not? Kalau Manchester punya MU yang tetap glory dan fenomenal berapa pun peringkatnya di Liga Utama Inggris, mestinya PSS Sleman bisa menjadi "The Great PSS Sleman, with Spirit of Kalasan Temple".
Tak peduli posisinya di peringkat berapa di Liga 1 Indonesia, yang penting sukses menjadi Duta Candi Kalasan dan candi-candi lain yang ada di Sleman. Potensi keberhasilan cara ini besar, lho. Mengingat kegilaan masyarakat Indonesia terhadap sepakbola.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H