Tanggal 7 Oktober 2024 kemarin, Kota Yogyakarta merayakan ulang tahun yang ke-268. Seperti biasa, ada banyak acara yang diselenggarakan terkait ulang tahun kota tempat tinggal saya itu. Sudah pasti acara-acaranya meriah.
Walaupun konon perayaan ulang tahunnya sengaja dibikin lebih sederhana, demi menghormati proses pilkada 2024, bagi saya sama saja hebohnya dengan perayaan tahun-tahun lalu. Tetap ada acara ini dan itu yang sangat semarak.
Informasinya gencar di media sosial. Terlebih untuk acara yang bersifat pertunjukan. Misalnya WJNC atau Wayang Jogja Carnival Night yang pelaksanaannya dipusatkan di kawasan Tugu Yogyakarta. Mulai sore hingga malam.
Terusterang saya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tidak berminat untuk menghadiri WJCN. Kalau ingin menonton keseruannya memilih lewat medsos saja. Entah melalui postingan warganet, entah melalui postingan akun resmi instansi terkait.
Saya memang tidak terlalu suka keramaian yang heboh. Sesekali berada di tengah keramaian masih okelah. Namun, saya tidak senang bila itu terjadi berturut-turut. Terlebih pada tahun-tahun belakangan ini. Bila ada keramaian saya serta-merta terbayang-bayang tumpukan sampah yang bakalan dihasilkannya.
Mungkin ini terdengar berlebihan bagi Anda yang tidak berdomisili di Kota Yogyakarta. Kurang relate. Namun, bila Anda tetangga saya pasti akan tertawa-tawa getir. Betapa tidak? Jumlah iuran bulanan untuk pengelolaan sampah naik. Akan tetapi, penggerobak sampah tidak bisa memastikan kapan dia akan mengangkut sampah-sampah kami. Dahulu dia rutin datang 3 hari sekali. Sekarang sama sekali tidak dapat dipastikan kapan datangnya.
Pernah ada masa, sampah di kampung kami menumpuk. Merana gara-gara kelamaan menunggu diangkut penggerobak yang tak kunjung datang. Bukan sebab penggerobaknya malas, melainkan sebab kondisi. TPS-nya yang kadangkala tidak buka.
Semua warga Kota Yogyakarta pasti sudah tahu sama tahu mengenai tumpukan sampah ini. Yang sedari dulu sampai sekarang masih di antara beres tak beres. Belum sepenuhnya (bisa) dituntaskan.
Apa boleh buat? Terusterang saja saya merasa lelah kalau memperbincangkan sampah di kota tempat saya berdomisili. Orang-orang di seantero kota kami pasti juga begitu.
Alhasil ketiga pasangan calon walikota/wakil walikota Kota Yogyakarta di pilkada 2024, kalaupun sama-sama berjanji membereskan persoalan sampah, tetap saja rasanya kurang bisa dipercaya. Jangan-jangan itu lip service belaka?
Nah. Beranjak dari persoalan inilah saya sangat berharap kepada tiga calon walikota Kota Yogyakarta agar beneran serius menuntaskan masalah sampah, jika kelak terpilih sebagai walikota. Pemerintahan yang baik itu kebijakannya bisa langsung menyentuh keseharian rakyat. Salah satunya kebijakan dalam hal pengelolaan sampah.
Cuma sampahkah yang saya harapkan dibereskan oleh walikota baru nanti? Tentu tidak. Namun, sampah itulah yang saya harapkan jadi prioritas utama saat ini. Jangan sampai kalah prioritas dari festival-festival seni dan kebudayaan.
Lalu, apa harapan lain yang saya punya? Tak lain dan tak bukan, tentu yang berkaitan dengan predikat Yogyakarta sebagai kota pelajar. Saya sungguh berharap bahwa predikat tersebut "disambut" pemkot Yogyakarta dengan penyediaan spot-spot literasi yang sama heboh tampilannya dengan spot-spot wisata yang ada.
Saya bayangkan, alangkah keren kalau wisatawan yang berbondong-bondong ke Yogyakarta juga merasakan atmosfer kota pelajar tersebut. Jadi saat pulang ke daerah masing-masing, ruang ingatan mereka tidak melulu diisi spot-spot wisata yang viral, tetapi juga ada kenangan tentang "suasana belajar".
Itulah deretan impian saya tentang Kota Yogyakarta ke depannya. Semoga sang walikota baru nanti bisa mewujudkannya. Saya optimis bisa, jika memang diupayakan sungguh-sungguh. Terlebih ada dua pasangan calon yang telah berpengalaman memimpin Kota Yogyakarta pada masa pemerintahan terdahulu.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H