Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Artikel Utama

Monumen Batik yang Kesepian di Titik Nol Yogyakarta

2 Oktober 2024   17:52 Diperbarui: 3 Oktober 2024   11:17 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kamu sudah pernah berfoto di sana? Bareng Monumen Batik itu?" Tanya saya kepada seorang kawan, sesaat setelah kami tiba di trotoar depan gerbang Gedung Agung Yogyakarta.

"Apa? Monumen Batik?" Alih-alih menjawab pertanyaan, kawan tersebut justru gantian bertanya.

"Iya. Monumen Batik. Itu, lho. Bangunan yang hitam. Yang di sana itu."

"Eh? Di sana? Di dekat perempatan itu? Rasanya tidak ada monumen apa pun di situ. Yang hitam mana?"

Saya menoleh ke arah teman saya dan bertanya, "Sebelumnya kamu pernah ke Titik Nol ini atau tidak?"

"Pernah, dong. Walaupun tidak sering kayak kamu, sudah beberapa kali aku ke sini. Pepotoan juga."

"Yakin?" Tanya saya dengan ekspresi meledek.

"Iyalah. Yakin banget. Ada kok foto-fotonya kalau kamu mau lihat."

"Berfoto di sana?" Saya bertanya. Teman tersebut mengiyakan dengan mantap. "Tapi kenapa enggak tahu kalau ada Monumen Batik?" Tanya saya lagi.

"Di mana sih, lokasinya? Apa ukurannya kecil? Jadinya tidak terlihat."

"Besar. Dari sini saja kelihatan, kok. Sudahlah. Kita ke sana saja. Yuk!" Ajak saya seraya melangkah ke arah selatan. Mendekati perempatan Titik Nol Yogyakarta.

Sesampainya di dekat Monumen Batik, saya berhenti dan berkata, "Ini lho, monumennya. Sebesar ini dan enggak pernah lari-larian ke mana-mana. Masak iya kamu tak melihatnya?"

Dokpri Agustina
Dokpri Agustina
"Oalaaah? Ini monumennya? Yang hitam ini? Hahahaha!"

Saya bengong melihat reaksinya. "Kok tertawa?"

"Hahahaha! Aku pas pepotoan memang melihatnya. Tapi enggak tahu kalau ini Monumen Batik. Kupikir bangunan apa, gitu. Kok ditaruh di sini. Hahahaha!"

"Woiii. Kamu enggak baca tulisannya ini? Yang nempel di monumennya ini?"

"Enggak. Hahahaha!" Kawan saya belum hilang tertawanya. "Jadi, dulu aku tak peduli. Kupikir pembatas apa, gitu. Pokoknya bukan sesuatu yang penting. Makanya aku tidak berfoto di depannya. Tidak memfotonya juga. Hahahaha!"

Saya tercenung mengamati Monumen Batik di depan kami. Memang tak ada papan nama atau tanda apalah-apalah yang mencolok mata, untuk menjelaskan monumen tersebut. Siapa yang menyangka kalau itu Monumen Batik? Wajar kalau kawan tersebut tidak menyadari kehadirannya.

Dia tidak sendiri. Ada kawan lainnya yang juga tidak paham bahwa bangunan hitam tersebut Monumen Batik. Namun, kawan yang ini memang orang luar DIY. Belum pernah mengeksplorasi kawasan Titik Nol. Jadi, tatkala itu saya kira wajar kalau dia tak paham monumen tersebut.

Pantas saja di sepanjang "karier nongkrong" saya di dekat situ, hampir tak ada yang pepotoan dengan latar belakang Monumen Batik. Terlebih ketika masih ada tulisan besar-besar yang instagramable di situ. Makin tidak ada yang melirik jadinya. Kalah eyecathcing.

Dokpri Agustina
Dokpri Agustina

Apa boleh buat? Sayang sekali sebetulnya. Monumen Batik sudah dibuat dengan serius, tetapi dicueki publik hanya gara-gara tak diberi papan petunjuk yang jelas.

Sementara di Monumen Batik tertera pengakuan UNESCO terhadap eksistensi batik sebagai warisan dunia. Ini 'kan bisa untuk menambah wawasan para wisatawan. Pun, warga lokal yang kebetulan lewat atau nongkrong di dekat situ.

Perlu diketahui, batik Indonesia diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda sejak tahun 2009. Adapun yang dihargai oleh UNESCO, yang membuatnya diakui sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda itu, bukanlah hasil akhirnya.

Bukan sebab keindahan motifnya saat telah menjadi sehelai kain, melainkan sebab proses pembuatannya. Mulai dari mencanting, mewarnai, hingga melorot. Teknik tradisional dalam memproduksi kain itulah yang mahal nilainya.

Hmm. Apakah Anda telah mengetahui hal itu? Kalau saya sejujurnya baru saja tahu dari radio. Dari wawancara dengan seorang pembatik dari Tarakan, Kalimantan Utara. Langsung saya bagikan di sini supaya Anda yang belum tahu juga jadi tahu.

Oke. Mari balik ke Monumen Batik di perempatan Titik Nol Yogyakarata. Monumen ini dahulu diresmikan oleh Bapak Hery Zuhdianto selaku walikota Kota Yogyakarta. Sebagai simbol bahwa Yogyakarta punya komitmen untuk melestarikan dan menjaga budaya batik.

"Nah. Kalau walikota yang meresmikannya saja Pak Hery, berarti Monumen Batik tersebut memang sudah lama ada. Jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda. Jauh sebelum kamu pepotoan di sini," kata saya kepada kawan saya.

Dia tak menjawab. Cuma ketawa-ketawa dan ujungnya mengajak berswafoto di depan Monumen Batik yang relatif merana kesepian itu.

Selamat Hari Batik Nasional 2024!

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun