Untungnya bumi masih berputar
Untungnya ku tak pilih menyerah
Untungnya ku bisa rasa hal-hal baik
yang datangnya belakangan
Ada waktu-waktu
hal buruk datang berturut-turut
Semua yang tinggal juga yang hilang,
seberapa pun absurdnya
Pasti ada makna
Untungnya bumi masih berputar
Untungnya ku tak pilih menyerah
Itu memang paling mudah
Untungnya ku pilih yang lebih susah
Untungnya kupakai akal sehat
Untungnya hidup terus berjalan
Untungnya ku bisa rasa hal-hal baik
yang datangnya belakangan
Untungnya, untungnya
Hidup harus tetap berjalan
...
Sepuluh tahun silam saya berada dalam situasi yang sama dengan isi lagu itu. Memang berat sekali. Terlebih saya melewatinya sendirian. Tak ada orang tua, saudara, dan teman yang bersiaga mendampingi. Untungnya, akal sehat masih tersisa. Mungkin karena saat itu usia saya sudah matang. Andai kata masih di usia 20-an, entahlah bagaimana alur ceritanya.
Saya pikir situasinya pasti terasa lebih berat kalau yang mengalami masih berusia 20 tahunan. Oleh karena itu, saya juga memanfaatkan lagu tersebut sebagai bahan "obrolan" dengan anak. Bagi saya, lagu itu cocok untuk mengantarkan ke pembahasan tentang isu kesehatan mental.
Tentu saja saya ingin anak saya sehat jiwa dan raganya. Sejak dahulu saya telah mengupayakan semaksimal mungkin agar dia bermental tangguh. Tidak sedikit-sedikit mengeluh. Namun, tidak pula selalu menyimpan tangis sendirian.
Melalui perantaraan lagu "Untungnya, Hidup Tetap Harus Berjalan", untungnya saya kemudian berani menyampaikan isu bunuh diri di kalangan gen Z secara lugas. Anda tentu tahu kasus-kasus bunuh diri yang dilakukan beberapa mahasiswa, yang beberapa waktu lalu ramai diberitakan.
Di situ saya katakan bahwa bunuh diri adalah jalan termudah. Tidak perlu memperjuangkan apa-apa. Cuma lari dari kenyataan. Sementara sama-sama lari dari kenyataan, bukankah lebih baik lari ke hal-hal lain selain bunuh diri?
Begitulah adanya. Karena Bernadya dan anak saya sama-sama gen Z, saya justru dimudahkan. Bagaimanapun dunia mereka sama. Kondisi kejiwaan mereka juga relatif sama sebab satu selera zaman. Jadi, saya tinggal mengikuti alur itu. Mau tidak mau untuk memulai diskusi dengan anak, saya mesti menyesuaikan diri dengan stereotipe gen Z.