Saat ini saya sedang berada di Plataran Masjid Gedhe Kraton Yogyakarta (biasa dikenal dengan nama Masjid Gedhe Kauman). Tentu bersama banyak orang, yang makin siang makin menyemut. Kami sedang menunggu kedatangan Gunungan Garebeg Maulud.
Sebenarnya masih nanti datangnya. Bahkan sepintas lalu bisa dikatakan, kami kepagian datang. Namun sejauh pengalaman saya, kalau tidak datang pagi-pagi terancam tidak bisa masuk ke area plataran. Keburu gerbang-gerbang menuju situ ditutup. Sementara lokasi terbaik untuk melihat rayahan Gunungan Garebeg Maulud adalah di Plataran Masjid tersebut.
Daripada galau sendiri akibat tidak datang bersama teman, sembari menunggu acara dimulai saya hendak bercerita tentang pengalaman semalam. Tatkala saya dan seorang teman bergabung dengan masyarakat yang berjubelan di tempat yang sama. Dalam rangka mengikuti prosesi Kondur Gongso.
Perlu diketahui, Kondur Gongso adalah prosesi kembali masuknya sepasang gamelan ke dalam kraton. Sepasang gamelan itulah yang selama pelaksanaan Sekaten (tanggal 5-11 Rabiul Awal) senantiasa dimainkan.
Lalu, bagaimana dengan cerita saya dan teman saya? Nah. Cerita dimulai selepas Magrib. Kami bersepakat untuk berjumpa di emperan Pagongan Kidul dan ternyata gagal. Sebab saat kami tiba di plataran, Pagongan Kidul telah dipenuhi jubelan orang. Untunglah akhirnya kami saling menemukan berkat koneksi WA.
Perlu diketahui, Pagongan Kidul adalah sebuah bangunan yang terletak di sisi selatan Plataran Masjid Gedhe Kraton. Digunakan untuk menyimpan seperangkat gamelan yang dinamai Kyahi Gunturmadu, selama pelaksanaan Sekaten.
Sudah pasti selama berlangsungnya Sekaten, Kyahi Gunturmadu tidak cuma dipajang. Pada jam-jam tertentu dimainkan sesuai dengan jadwalnya. Bergantian dengan Kyahi Nagawilaga, yaitu seperangkat gamelan yang disimpan di Pagongan Lor yang berlokasi di sisi utara Plataran Masjid Gedhe Kraton.
Tentu dua foto gamelan di atas bukan hasil jepretan semalam. Itu hasil jepretan dua hari sebelumnya. Ketika sore-sore saya meluangkan waktu khusus untuk menikmati alunan gendhing yang dimainkan di Pagongan Lor dan Pagongan Kidul.
Baik. Mari kembali ke cerita semalam. Setelah bertemu, saya dan teman memutuskan menuju regol (gerbang masjid) sebab di sekitar Pagongan Kidul sudah terlampau padat. Disesaki mereka yang hendak berebut udhik-udhik.
Apa itu udhik-udhik? Udhik-udhik adalah tradisi membagikan uang logam kepada masyarakat. Membagikannya dengan cara disebar (dilempar-lemparkan) bersama beras, biji-bijian, dan bunga. Ini merupakan simbol sedekah raja kepada rakyatnya.
Prosesi sebar udhik-udhik merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu masyarakat, dalam rangkaian Kondur Gongso. Mereka bakalan berusaha mendapatkan koin yang disebar Ngarsa Dalem.
Bagi kalangan muda yang berpikiran modern, uang logam itu dijadikan benda kenangan. Bagi para tetua dan mereka yang masih percaya perihal ngalap berkah, tentu bakalan disimpan baik-baik. Bukan sekadar dijadikan benda kenangan, melainkan untuk dijadikan semacam penyemangat dalam mencari rezeki.
Mengapa kami tidak tertarik ikut rebutan idhik-udhik? Tentu saja karena sudah pernah dan merasa jera rebut-rebutan begitu. Seru sih, seru. Cuma kedorong-dorongnya yang tidak asyik. Kami memang kurang tangguh untuk menghadapi hal-hal serupa itu.
Lagi pula, kami sedang berniat untuk fokus menonton rombongan sultan. Kiranya siapa saja yang mendampingi beliau untuk sebar udhik-udhik? Pucuk dicinta ulam tiba. Walaupun para petugas terkait sudah bersiaga di sekitar regol, kerumunan massa belum menyemut. Jadi, kami leluasa memilih posisi yang sekiranya strategis untuk memotret atau memvideo sultan beserta rombongan.
Singkat cerita, setelah menunggu lama akhirnya Sultan HB X beserta rombongan tiba. Beliau memasuki Plataran Masjid melalui regol, kemudian menuju Pagongan Kidul dan sebar udhik-udhik di situ. Selanjutnya menuju ke Pagongan Lor, juga untuk sebar udhik-udhik. Selepas itu Sultan HB X dan rombongan masuk ke masjid untuk menyimak pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW.
Apa boleh buat? Karena kami hanyalah rakyat jelata dan tidak mendapatkan undangan dari kraton, tentu saja tidak boleh ikut memasuki masjid. Jangankan ikut duduk menyimak. Masuk halaman masjidnya saja tidak bisa. Alhasil, kami cuma dapat mengintip dari luar pagar.
Kurang lebih satu jam acara selesai. Sultan beserta rombongan pun kembali ke kraton. Saya dan teman bimbang. Tentu bukan sebab ditinggal sultan. Kami bimbang untuk memutuskan. Segera pulang atau bertahan hingga tengah malam di plataran, yaitu saat Kondur Gongso-nya; saat Kyahi Gunturmadu dan Kyahi Nagawilaga diangkat dan diarak masuk ke kraton.
Alhasil, kami memutuskan pulang. Karena masih harus menunggu sekitar satu jam lagi, jika hendak mengikuti prosesi Kondur Gongso-nya. Sementara kami sudah lelah dan kehausan.
Dari tahun ke tahun kami setia menonton aneka prosesi dalam Sekaten. Kami tak tahu, magis apa yang menggerakkan kaki ini untuk selalu mendatanginya. Lagi, lagi, dan lagi dengan sukacita. Mungkin karena selalu ada cerita yang berbeda di tiap Sekaten. Mungkin.
Seperti cerita semalam, kami berkenalan dengan seorang teman baru. Dia gadis Medan yang tengah berlibur di Yogyakarta. Yang tidak sengaja melewati keramaian di sekitar Masjid Gedhe dan memutuskan mampir. Sebab penasaran, begitu saja dia bertanya kepada kami yang ada di dekatnya.
Saat tahu kalau kami sedang menunggu kedatangan sultan, dia girang sekali. Dia bilang kalau memang ingin sekali melihat sultan secara langsung. Nah 'kan? Memang selalu ada cerita di tiap Sekaten.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H