Perihal Isi Talkshow
Talkshow yang saya ikuti menampilkan Dr. Arif Suharson, S.Sn., M.Sn. sebagai narasumber. Beliau adalah dosen Jurusan Kriya FSR ISI Yogyakarta. Mohon dicatat, nama beliau memang Suharson. Bukan Suharsono. Ini perlu dijelaskan sebab saya khawatir dikira salah ketik (kurang huruf).
sejarah yang panjang. Beliau menyampaikan bahwa banyak sekali pembelajaran dari kriya; bahwa kriya tidak hanya sebagai tontonan, tapi juga sebagai tatanan dan tuntunan. Ini sesuatu yang sangat hebat. Jika digali lebih dalam/lebih lanjut bisa menjadi  karakter nilai budaya anak bangsa. Beliau juga menyampaikan penjelasan yang tidak ada di historis umum, yakni fakta bahwa pada masa undagi lahir produk kriya-kriya kita dan itulah yang menjadi akar senirupa Indonesia.
Dr. Arif Suharson, S.Sn., M.Sn. mengatakan bahwa di bidang kriya, Bantul punyaBanyak hal menarik yang dipaparkan. Namun, yang paling menggelitik hati adalah saat beliau mengatakan bahwa kita pernah menikmati kebesaran di masa kolonial. Memang penjajahan, tapi harus diakui bahwa tanpa adanya penjajahan itu tidak akan ada kereta api dan barang-barang dari luar negeri. Hmm. Kiranya hubungan antara Indonesia dan Belanda itu semacam love-hate-love.
Selain Dr. Arif Suharson, S.Sn., M.Sn. ada 4 narasumber lainnya. Masing-masing adalah pengelola Museum Taman Tino Sidin, Museum Wayang Beber Sekartadji, Museum & Factory Chocholate Monggo, dan Museum History of Java. Adapun moderatornya Mbak Samantha Aditya Putri, S.Sn., M.A.
Tiap pengelola museum bercerita tentang museum yang dikelolanya. Dengan demikian, peserta talkshow yang belum pernah berkunjung ke museum yang bersangkutan bisa punya gambaran mengenai isi museumnya. Bisa tahu pula latar belakang dan tujuan berdirinya museum itu. Pun, tahu hal-hal "receh" yang terkait dengannya.
Misalnya informasi bahwa nenek moyang Pak Tino Sidin sesungguhnya dari Cepit, Bantul. Namun, keluarga Pak Tino Sidin sendiri tinggal di Kisaran (dekat Tebingtinggi) sebagai pekerja perkebunan. Sesungguhnya beliau telah berusaha untuk menemukan kerabatnya di Bantul, tetapi tidak berhasil.
Kemudian informasi bahwa Pak Tino Sidin pernah angkat senjata demi NKRI. Ini amat menarik. Karena sejak kecil hingga datang ke talkshow, di benak saya terpatri rumusan bahwa Pak Tino Sidin adalah orang Jakarta dan selalu bekerja dengan peralatan gambar. Maklumlah, ya. Saya melihat sosok beliau 'kan selalu dari TVRI Pusat dalam acara menggambar.
Hal tak terduga lainnya bagi saya adalah ketika menyimak penuturan Mbak Vivi, pengelola Museum & Factory Chocholate Monggo. Ternyata pendiri sekaligus pemilik Museum & Factory Chocholate Monggo itu warga negara asing. Bukan WNI. Sementara selama ini berdasarkan kemasan-kemasan produknya, saya meyakini kalau Cokelat Monggo milik seorang priayi Jawa.
Sekali lagi, saya bersyukur bisa ikut menghadiri talkshow bertema "Ekspresi, Eksplorasi, dan Kita" yang merupakan bagian dari Bantul Museum Expo (BME) 2024. Ada banyak informasi baru yang saya peroleh. Pun, jawaban atas rasa penasaran saya terhadap bangunan di Jalan Parangtritis, yang bagian depannya dihiasi dengan piramida. Kalau kebetulan melewatinya saya cuma bertanya-tanya, "Itu tempat apa sih, kok ada piramidanya?" Ternyata, oh rupanya, itulah lokasi Museum History of Java.
Museum tentang sejarah Jawa kok diberi piramid? Apa ada hubungannya dengan Mesir? Mbak Ocha, pengelola Museum History of Java, memberikan penjelasan bahwa itu bukan piramida. Bentuk tersebut sebetulnya mengadopsi filosofi golong gilig. Atau, simbol dari gunungan wayang. Menyimbolkan perjalanan hidup manusia, terutama manusia Jawa. Mulai dari kelahiran, kedewasaan, sangkan paraning dumadi, sampai dengan bersiap untuk menghadap Yang Maha Kuasa.
Itulah cerita dari 3 museum. Semuanya menarik dan memantik keinginan saya untuk berkunjung langsung ke museumnya. Beruntung usai talkshow bisa mengintip sedikit di "Semai Semarai" sebagai pemanasan.