Perasaan saya campur aduk antara sedih dan marah, ketika semalam membuka aplikasi Tiktok. Di lini masa melintas beberapa VT (Video Tiktok) yang menurut saya, diberi narasi kurang etis dan menunjukkan ketiadaan empati. Saya paham kalau VT-VT tersebut dibuat dengan tujuan bercanda. Namun masalahnya, hal yang menjadi bahan candaan itu tidak patut dijadikan sebagai candaan. Hadeh! Di manakah nurani?
polisi akibat luka bakar parah yang dialami. Adapun luka bakar itu disebabkan ulah sang istri, yang juga seorang polwan.
Narasi yang tercantum pada VT tersebut mengacu pada kasus yang tengah viral. Sebagai respons terhadap berita meninggalnya seorang anggotaSemua tulisan terkait kabar tersebut rata-rata diberi judul yang menginformasikan bahwa gara-gara gaji ke-13, seorang polwan tega membakar suaminya. Di berbagai portal berita memang dikabarkan bahwa sang polwan terbakar amarah setelah cek ricek rekening bank. Penyebabnya, gaji ke-13 sang suami tinggal Rp800.000,00 dari yang mestinya Rp2.800.000,00.
Tentu saja judul serupa itu lumayan provokatif. Seketika banyak warganet yang langsung menyematkan label sadis untuk sang polwan. Ada pula yang serta-merta menganggapnya istri matre; cuma karena uang dua juta rupiah kok sampai tega menghabisi nyawa suami? Ada juga yang sinis berkomentar, "Yaelah, cuma segitu. Kirain gajinya sekian puluh juta?"
Setelah alasan ulah sang polwan diketahui, yaitu kesal karena sang suami kecanduan judi online (malah diberitakan kalau hobi melakukan hal buruk lainnya juga), tetap saja banyak yang menghujat. Ada yang mempertanyakan, kok bisa sang polwan seemosional itu? Dahulu hasil tes kejiwaannya dalam seleksi masuk Polri bagaimana? Kok bisa lolos kalau setemperamental itu? Pakai orang dalam?
Ada pula yang malah adu nasib. Berkomentar kalau dirinya sedang dalam posisi yang sama, tapi bisa bersabar untuk tidak menghabisi suami karena selalu berdoa dan berzikir. Dengan kata lain, si komentator menganggap sang polwan sebagai sosok yang tidak religius.
Apa boleh buat? Warganet memang paling jago kalau melontarkan komentar penghakiman. Langsung dar-der-dor tanpa memedulikan rupa-rupa faktor penyebab dari suatu peristiwa.
Di sisi lain, tak sedikit warganet yang memberikan dukungan kepada sang polwan. Mulai dari dukungan yang benar (yaitu memaklumi dan membesarkan hati supaya dia sanggup mempertanggungjawabkan perbuatannya) hingga dukungan yang aneh-aneh (misalnya komentar bahwa tindakan sang polwan sudah tepat karena dia to the point, langsung melenyapkan sumber masalah dalam hidupnya).
***
Terusterang saya gemetar tatkala pertama kali membaca berita tersebut. Mengapa? Sebab ingatan saya seketika terpantik pada peristiwa serupa beberapa tahun silam. Tatkala itu sebelum berdomisili di alamat sekarang, saya punya tetangga yang juga tega membakar pasangan hidupnya gara-gara terbakar cemburu.
Semua kaget. Sama sekali tak menyangka bahwa laki-laki pendiam dan penyabar itu bisa murka dan nekad. Istri cantiknya yang telah dimaafkan berulang kali sebab main api dengan laki-laki lain, suatu hari disiram bensin dan dibakarnya. Tepat di depan mata anak mereka, saat belum lama tiba di rumah setelah semalaman tak pulang.
Kedua kasus pembakaran itu serupa. Bedanya, tetangga saya membakar sang istri dan kemudian dirinya menyusul ke dalam kobaran api. Mungkin tetangga saya bertekad sehidup semati, mengingat dia sebetulnya amat bucin pada sang istri. Sementara polwan dalam kasus tempo hari justru tersadar dari khilaf (meskipun telat), kemudian sempat meminta maaf dan membawa sang suami ke rumah sakit.
Saya pikir, tetangga saya dan polwan yang malang itu berada dalam situasi yang sama. Kekhilafan berat mereka menyebabkan orang-orang yang mereka cintai meninggal dunia. Membuat urusan makin rumit. Ibarat mengatasi masalah dengan cara menimbulkan masalah baru.
Tentu saya tak hendak membenarkan perbuatan sang polwan. Pun, perbuatan mantan tetangga saya itu. Saya hanya berusaha memaklumi kekhilafan berat mereka, yang sesungguhnya merupakan akumulasi dari relasi love and hate.
Untuk kasus sang polwan, ada kemungkinan dia menanggung malu akut juga karena suaminya sesama polisi. Yang mestinya sebagai polisi bertugas memberantas judi on line. Bukan malah ikut kecanduan.
Sekali lagi, ini memang perkara yang rumit. Alih-alih menghujat, saya pilih berempati dan bersimpati kepada sang polwan. Bukan bermaksud membenarkan keputusannya untuk membakar sang suami, melainkan mendukungnya untuk siap mempertanggungjawabkan segala yang harus dia pertanggungjawabkan.
Almarhum suaminya telah selesai dengan semua urusan duniawi, terlepas dari salah atau benarnya. Lain halnya dengan sang polwan. Selain harus berhadapan dengan hukum, dia juga harus berjibaku mengelola perasaan-perasaan dalam dirinya. Saya yakin, tanpa kita salah-salahkan pun sang polwan pasti telah dirundung penyesalan besar.
Semoga kondisi mental sang polwan stabil dan rasa penyesalan tertingginya tidak sampai menyebabkan kenekadan kedua, yaitu keputusan untuk mengakhiri hidup. Jangan sampai pihak berwenang yang mengurusnya lalai dan membiarkannya sendirian, apalagi sampai terintimidasi oleh komentar-komentar sadis warganet. Bahaya!
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H