Selain menjadi momentum yang membahagiakan, Lebaran rupanya juga berpotensi bikin depresi bagi sebagian orang. Ironis memang. Lebaran kok malah menjadi momok menakutkan.
Namun, apa boleh buat? Faktanya seperti itu. Terutama bagi mereka yang punya jalan hidup tak senormal orang-orang lain pada umumnya. Misalnya pasutri yang tak kunjung dikaruniai anak, kaum lajang yang awet tanpa pasangan, mahasiswa yang tak kunjung beres studinya, atau kaum freelancer yang kesulitan menjelaskan bila ditanya kerja di mana.
Bagaimana bisa begitu? Tentu bisa. Bahkan, sangat bisa. Lebaran 'kan ajang berkumpul keluarga besar. Yang tidak termasuk keluarga pun bisa ikutan berkumpul. Sudahlah. Pokoknya berkumpul, berkumpul, dan berkumpul. Disertai acara makan-makan dan saling mengobrol. Ngerumpi. Di sepanjang hari.
Pokoknya apa saja diobrolkan. Sangat menyenangkan bagi orang-orang yang ekstrovert, tapi sungguh melelahkan bagi kaum introvert seperti saya dan seorang teman sekolah (sebut saja Y). Ibaratnya, kami ikut duduk saja merasa lelah. Lebih-lebih kalau kemudian ditanya-tanya tentang kehidupan pribadi. Wah, makin melelahkan saja rasanya.
Nah. Pada satu kesempatan, Y disentil tentang kejomloannya. Yang menyentil X, salah satu teman kami juga. Yang kebetulan saat itu belum lama menikah.
"Ayo, Y. Kapan nikah? Masak mau melajang seumur hidup?"
Untuk kesekian kalinya Y mengungkit-ungkit perihal jodoh. Mungkin karena sudah terlalu lama menumpuk jengkel, X yang biasanya cengar-cengir belaka seketika menjawab gahar.
"Sabaaar. Jodhoku isih dititipke kowe (terjemahan: Jodohku masih dititipkan di kamu). Suk nek aku wis siap sakkabehane rak ya mesti bakal diserahke aku. Gusti ora sare (terjemahan: Ntar kalau aku sudah dianggap siap oleh-Nya, pasti bakal diserahkan padaku). Bhahaha!"
Tanpa ekspresi rasa bersalah, Y Â menjawab sadis diakhiri ketawa jahat. Saya pun spontan tertawa tergelak-gelak. Sementara X yang rupanya agak loading, seketika misuh-misuh setelah paham isi ucapan Y.
Dasar Y memang gila. Jawabannya di luar dugaan dan bersifat tepian jurang. Siapa yang tahan untuk tidak tertawa? Walaupun pada saat yang bersamaan, seutas cemas tetap menyelinap di hati.
Saya khawatir tentang masa depan. Kalau akhirnya kejadian beneran, bagaimana? Pacar si X malah ternyata menikah dengan si Y? Bukankah perkataan adalah doa? Terlebih diucapkan di bulan baik.
Ah, sudahlah. Kok malah saya yang overthinking? Kalau hal itu sampai menjadi kenyataan dan Y digebuki oleh X, saya pilih menertawakan Y. Tak mau membelanya. Salah sendiri dia nekad menjawab secara lutjuk, manyala, dan meledaks!
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H