Yogyakarta yang disinyalir dua per tiga wilayahnya mengandung sejarah. Kenyataannya di seantero kota memang bertebaran bangunan dan ruang bersejarah peninggalan era kolonial Belanda. Salah satunya Museum Benteng Vredeburg (biasa disingkat MBV) yang terletak di jantung kota.
Saya berdomisili di KotaAlhasil, ke mana pun melangkah saya bakalan kerap berjumpa dengan suasana heritage. Itu menyenangkan! Terlebih kalau menyengajakan diri untuk melangkah ke Museum Benteng Vredeburg, yang merupakan destinasi favorit saya. Pastilah suasana heritage itu kian kental terasa.
Tentu saja karena merupakan destinasi favorit, dari masa ke masa saya sering berkunjung ke Museum Benteng Vredeburg. Oleh karena itu, saya lumayan hafal suasananya. Terutama suasana halaman dan seantero bagian luarnya. Maklumlah. Saya suka duduk berlama-lama di halaman museum. Di sudut mana saja, yang pada saat itu saya pikir terasa nyaman, baik nyaman untuk mengobrol (bila mengajak teman) maupun nyaman untuk mengamati pengunjung lain yang hilir-mudik.
Kesukaan tersebut sudah pasti punya dampak. Misalnya saya ingat posisi meriam yang dulu di sana, ternyata sekarang menjadi di sini. Ruangan ini dahulu tampak suram, sekarang menjadi lebih terang.
Di bagian luar dulu tak ada patung-patung, sekarang bertebaran patung yang bisa saya jadikan properti berfoto. Koleksi ini dulu belum ada, sekarang ada. Dahulu saya berfoto di sebuah spot, ternyata saat hendak mengulang berfoto sudah berubah kondisinya.
Jika Anda bertanya-tanya, "Kok bisa tidak pernah bosan?" Tentu serta-merta saya akan menjawab, "Sangat bisa."
Saya kurang tahu persis alasannya. Namun, sepertinya ketidakbosanan itu disebabkan oleh rasa penasaran. Tiap kali hendak kembali berkunjung, melintas tanya di benak, "Ada perubahan apa lagi ya, di Museum Benteng Vredeburg? Yang dulu diperbaiki di sebelah sana, sekarang bentuknya seperti apa ya? Penataan halaman tengahnya diubah atau tidak, ya?"
Selain itu, dalam satu kunjungan saya memang tak sekaligus mengeksplorasi seluruh bagian museum. Misalnya bulan lalu saya mengeksplorasi sisi selatannya, bulan yang akan datang gantian mengeksplorasi halaman tengahnya. Museum Benteng Vredeburg itu sangat luas. Cukup melelahkan bagi saya kalau nekad menjelajahinya secara tuntas dalam sekali kunjungan.
Jangan lupa pula. Tujuan utama tiap kunjungan  saya 'kan berlainan. Jadi, tak jarang saya berkunjung tanpa masuk ruangan penyimpan koleksi museum. Adakalanya datang bersama teman-teman hanya untuk cari tempat yang nyaman dan tenang buat mengobrol. Di saat lain datang dengan tujuan utama membuat konten foto dan video.
Sementara kalau datang dengan tujuan rekreasi (yang biasa disebut healing oleh genzy), saya sekadar duduk-duduk di rerumputan. Mencari angin segar sembari memandangi kolamnya. Tentu plus berimajinasi tentang situasi ketika Museum Benteng Vredeburg masih dipergunakan sebagai benteng pertahanan pasukan Belanda.
Saya bersyukur karena seluruh halaman depan Museum Benteng Vredeburg kini bisa berfungsi sebagai RTH (Ruang Terbuka Hijau). Bahkan, yang sisi selatan dilengkapi dengan sarana permainan anak. Sebelumnya halaman depan tersebut sebagian besar menjadi lahan parkir bagi pengunjung Malioboro. Alhasil, tiap saat senantiasa dipenuhi kendaraan mulai dari bus mini hingga sepeda motor.
Alih-alih menjadi RTH, yang ada tatkala itu justru menjadi area penuh polusi udara dan suara. Kalau hendak masuk museum harus melewati deretan kendaraan yang terparkir. Terkadang malah ada bus mini yang sedang memanaskan mesin sampai keluar asap hitam segala.