Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar Pilihan

"Phubbing" dalam Jogja Street Sculpture Project (JSSP) #5 Bikin Saya Merenung dan Mendapatkan Duit

30 Oktober 2023   23:11 Diperbarui: 31 Oktober 2023   07:26 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Capture Story IG @jogjastreetsculpture

Sebuah karya seni tidak melulu hadir untuk dinikmati sebagai hiburan. Di balik keindahan yang disuguhkan kepada khalayak, tak jarang tersimpan sebuah teguran atau peringatan. Sebagaimana halnya yang terjadi pada perhelatan Jogja Street Sculpture Project (JSSP) #5.

Hari-hari belakangan ini jika Anda berjalan-jalan di sepanjang Jalan Malioboro Yogyakarta, pasti akan menjumpai pemandangan berbeda. Di titik-titik tertentu terdapat patung-patung unik dan menarik dalam rangka perhelatan Jogja Street Sculpture Project (JSSP) #5.

Mulai dari ujung utara. Dari plang nama Jalan Pasar Kembang (dekat Stasiun Tugu Yogyakarta) yang disulap menjadi tanda love berwarna merah muda, hingga bulatan-bulatan di sekitaran Titik Nol Yogyakarta yang dipermak menjadi permen-permen raksasa.

Total ada 30 macam karya yang dipajang di seantero kawasan terkenal itu. Terdiri atas karya seni rupa dari 22 seniman, 5 kelompok seniman, dan 3 seniman undangan. Seniman undangannya adalah Nasirun, Putu Sutawijaya, dan Ugo Untoro.

Terkait para seniman undangan tersebut, saya cukup antusias. Mengapa? Sebab sebagai orang awam, saya paham kebesaran nama Nasirun dan Putu Sutawijaya. Pernah pula berjumpa langsung dengan mereka.

Akan tetapi, rupanya dalam perhelatan Jogja Street Sculpture Project (JSSP) #5 yang bertema "Ruwat Gatra Rasa, Redefining Form and Space", saya justru jatuh cinta pada karya Hilman Syafriadi. Yang sesungguhnya, saya belum pernah tahu nama dan karya-karyanya.

Iya. Persisnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Begitu melihat karya Hilman Syafriadi yang memang mencolok mata, saya langsung terkesan. Seketika bergumam, "Wow!"

Maklumlah, ya. Secara kuantitas, karya tersebut bisa dibilang spektakuler. Jumlahnya kalau dibariskan bisa satu peleton. Didudukkan (diletakkan) berderet-deret di beberapa bangku yang ada di sepanjang trotoar. Bentuknya berupa figur manusia berwarna-warni. Ukurannya besar-besar pula.

Adapun di kuping masing-masing figur tertempel sebuah benda pipih. Berbentuk persegi panjang dan berwarna hitam. Iya, tak salah lagi. Benda pipih hitam itu merupakan penggambaran atau simbol dari gawai (HP).

Dokpri Agustina
Dokpri Agustina
Karya Hilman Syafriadi tersebut diberi judul "Phubbing/Gemawai". Yang berarti mabuk gawai. Mabuk gara-gara hobi mengonsumsi gawai secara berlebihan.

Yeah? Namanya juga mabuk. Berarti mempergunakan sesuatu di atas dosis. Berlebihan. Ujung-ujungnya pun kecanduan. Jadi, sangat susah lepas dari gawai. Sebentar-sebentar menengok notifikasi. Khawatir kalau sampai ketinggalan berita viral.

Begitulah adanya. "Phubbing/Gemawai" secara presisi menggambarkan fenomena zaman sekarang. Sebuah zaman yang orang-orangnya cenderung lebih mementingkan interaksi dalam dunia maya. Bahkan, saat mereka sedang berdekatan secara fisik dengan orang-orang di dunia nyata.

Apa hendak dikata? Demikianlah adanya dinamika zaman. Tak terelakkan lagi. Memang begitulah rupanya fenomena hidup di zaman konten. Sebuah zaman yang memungkinkan siapa saja bisa nonton sekaligus bikin konten sesuka-sukanya. Sampai-sampai acap kali lupa akan adanya etika.

"Phubbing/Gemawai" memberitahukan bahwa orang-orang zaman sekarang cenderung asosial sebab sibuk dengan gawai masing-masing. Duduk bersebelahan dengan yang dikenal pun bisa saling cuek. Lebih-lebih kalau dengan yang tak dikenal. Menyedihkan sekali 'kan?

Tentu hal tersebut sangat berlainan dengan era sebelumnya. Dahulu tegur sapa secara langsung, dengan melibatkan tatap mata dan udara, merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Sementara di era sekarang menjadi sesuatu yang amat dirindukan karena kian langka dari hari ke hari.

Sungguh kontradiktif. Konon gawai dibuat untuk mendekatkan yang jauh. Kok faktanya malah berkebalikan? Justru menjauhkan yang duduknya bahkan sudah saling berdesakan?

Dokpri Agustina
Dokpri Agustina
Tak terbantahkan lagi. Hilman Syafriadi sedang berusaha menyadarkan khalayak. Betapa selama ini mereka (tentu termasuk Anda sekalian dan saya) telah beranjak menjauhi kodrat sebagai makhluk sosial yang senang bergaul/bersosialisasi.

Sungguh. "Phubbing/Gemawai" sukses menepuk bahu saya secara agak keras. Menyadarkan bahwa bagaimanapun saya bukan robot. Sampai kapan pun saya tetap manusia, yang butuh interaksi sosial secara face to face.

Dengan demikian kecuali dalam situasi urgen, tidak elok jika saya mengutamakan gawai. Sementara di sekeliling ada orang-orang yang bisa diajak mengobrol secara langsung.

Dunia maya dan gawai memang hal baru. Kita pun harus selalu berinovasi mencari hal-hal baru. Plus sanggup memaknai perubahan situasi dan kondisi zaman. Hanya saja, hendaknya semua dilakukan dengan tetap sembari menjaga yang telah ada.

Demikianlah renungan saya terhadap karya Hilman Syafriadi yang diikutkan dalam gelaran Jogja Street Sculpture Project (JSSP) #5. Sebuah karya seni rupa berjudul "Phubbing/Gemawai", yang kemudian memotivasi saya untuk ikut lomba foto dalam rangka JSSP #5 itu.

Dokpri Agustina
Dokpri Agustina
Kok ya kebetulan saya punya buku yang sesuai dengan topik "Phubbing/Gemawai". Jadinya pas banget untuk dijadikan properti berfoto. Yang istimewa, buku Hidup di Zaman Konten adalah karya seorang teman. Yang semula saya kenal di dunia maya, kemudian berlanjut ketemuan di dunia nyata. Hmm. Sebuah lingkaran kebetulan yang luar biasa 'kan?

Ngomong-ngomong, foto yang jadi thumbnail itulah yang saya ikutkan lomba foto JSSP #5. Lalu, bagaimana dengan hasilnya? Syukurlah bisa menjadi juara ketiga untuk kategori foto.

Tentu saya senang. Makin senang sebab sesama anggota #PPJ  yang juga kompasianer, sukses menjadi juara kedua kategori video. Ini nih, buktinya.

Capture Story IG @jogjastreetsculpture
Capture Story IG @jogjastreetsculpture
Perlu diketahui, Jogja Street Sculpture Project (JSSP) #5 dibuka secara resmi pada tanggal 26 Oktober 2023. Kemudian Closing Ceremony pada tanggal 23 Oktober 2023.

Akan tetapi, tenang saja jika Anda belum sempat melihatnya. Tempo hari ketika menghadiri Closing Ceremony, saya mendapatkan informasi bahwa karya-karya menarik dalam Jogja Street Sculpture Project (JSSP) #5 masih akan dipajang hingga tanggal 16 November 2023 nanti.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun