Siapa yang menyangka kalau cokelat hadiah dari Kompasiana itu, bisa membuat saya lumayan tenar di kalangan teman-teman anak saya?
Topik pilihan 15 Tahun Kompasiana membuat saya teringat perkataan anak saya. Kurang lebih 3 tahun lalu, ketika tahu-tahu dia sudah berada di samping saya.
Tatkala itu saya sedang mengakses Kompasiana melalui komputer meja. Persisnya saya sedang menyimak informasi lomba menulis yang diadakan oleh CLICKompasiana.
"Wow! Itu cokelat, ya? Tampaknya enak banget."
"Iya. Memang enak beneran kayaknya," respons saya.
"Ooo. Ini hadiah lomba, ya?" Kata anak saya setelah mencermati layar komputer sebentar. Kemudian dia melanjutkan, "Bunda ikutlah sana supaya menang."
"Heh?! Kok supaya menang? 'Kan belum tentu bisa menang walaupun ikut. Lagi pula, itu hadiah bagi pemenang ada dua macam. Baca lagi, deh. Selain cokelat ada pula yang dapat buku. Nanti kalau Bunda menang, tapi dapatnya buku, gimana?"
"Iya ... harus berusaha untuk menang yang hadiahnya cokelat. Bisa seperti itu 'kan?"
"Heh???"
Saya cuma bisa meringis. Anak semata wayang saya memang tipe orang yang penuh keyakinan. Sekalipun apa yang diyakininya terkadang kurang masuk akal bagi saya.
Apa boleh buat? Percakapan kami tersebut menyisakan galau di hati saya. Pada dasarnya saya memang berniat mengikuti lomba. Pemantik utama dari niat itu pun cokelat. Saya juga ingin mencicipi cokelatnya.