Adapun saya seperti kembali ke masa mahasiswa, tatkala menonton film dokumentasi tentang gerakan reformasi 1998. Terutama saat layar memperlihatkan situasi demonstrasi di Gedung Pusat UGM.
Apakah itu menjadi spot favorit saya? O, tidak. Spot favorit saya justru di bagian Senisono. Saya mencermati satu per satu apa yang tersedia di situ. Baru beranjak ke spot berikutnya ketika lampu padam.
Perlu diketahui, lampu padam menandakan waktu pengunjung di spot itu telah habis. Harus berpindah ke spot lain.
Singkat cerita, kami gembira bisa menjelajah Diorama Arsip Yogyakarta. Kiranya itulah cara belajar sejarah a.k.a. "membaca" arsip secara asyik.
Tidak membosankan. Sesuai dengan selera anak-anak dan remaja masa kini. Pun, kalangan usia di atas mereka yang cenderung kurang tertarik pada arsip berupa tulisan melulu.
Paparan dan Diskusi
Wisata Arsip selesai bertepatan dengan waktu ishoma (istirahat, sholat Zuhur, dan makan siang). Kalung penanda pun kami serahkan kepada panitia. Kemudian diganti dengan kudapan dan nasi kotak.
Kurang lebih pukul 13.00 WIB acara dilanjutkan. Diawali dengan sambutan dari Ibu Monika, Kepala DPAD DIY, langsung disambung dengan pembukaan pameran secara resmi.
Setelahnya tampil Pak Baha Uddin dari Departemen Sejarah FIB UGM. Beliau memaparkan hasil penelitiannya tentang Yogyakarta selama menjadi ibukota RI pada tahun 1946-1949.
Pemaparan Pak Baha Uddin menyadarkan saya, betapa selama periode itu Yogyakarta memainkan peran yang amat vital, dalam konteks revolusi Indonesia.
Saya merasa cukup hafal dengan sejarah seputar Yogyakarta yang menjadi ibukota RI. Jadi sesungguhnya, apa-apa yang disampaikan Pak Baha Uddin statusnya sekadar menyegarkan ingatan.