"Oalaaah. Pantesan galau enggak karuan. Makan tuh cinta. Dengar ya, Nit. Kalau kamu sedang galau, justru harus ke masjid. Ngadu sama Allah. Bukan malah bimbang mau Tarawih atau tidak. Religius 'dikit kenapa?"
"Aduh, In. Jangan kenceng-kenceng gitulah. Kasihan Nita," lerai Shaa.
"Lho! Aku menyemangati. Mengajaknya ngadu sama Allah. Segala galau pasti akan ilang kalau mau ngadu ke Allah."
Indah kemudian beranjak ke belakang. Ia hendak mengambil air wudu. Shaa mengikutinya. Sementara Nita tak bersuara sama sekali. Masih terpaku di tempatnya berdiri.
***
"Kamu kenapa, Nit? Pulang Tarawih bukannya tambah semangat, eh ... malah tambah ruwet wajahmu. Kenapa, sih, kenapa? Patah hati berat? Halah, halah. Seganteng apa sih, mantan pacarmu itu? Sampai-sampai sebegitunya enggak bisa move on?"
"Sudahlah, In. Jangan membuat Nita tertekan. Mau ganteng, mau enggak, masalahnya 'kan putusnya barusan. Wajar dong, kalau belum bisa move on." Shaa berusaha menengahi.
"Habisnya ngeselin. Patah hati, frustrasi. Mestinya 'kan lumayan sembuh kalau ngadu ke Allah. Shalat. Tarawih berjamaah. Kamu pasti sambil melamun shalatnya."
"Sudahlah, In. Ngomelnya sudah," kata Shaa.
"Nita tuh yang harusnya menyudahi galaunya," tukas Indah.
"Enggak bakalan bisa kalau tiap hari Tarawih di masjid," sahut Nita mantap.