Anak saya terbiasa berinteraksi dengan hewan ternak milik para tetangga. Ada sapi, kambing, ayam, bebek, burung, dan ikan. Tak jarang ikut pula memberikan makan kepada hewan-hewan tersebut.
Dia pun terbiasa dengan kucing, anjing, dan ular. Sebagian tetangga ada yang memelihara binatang-binatang tersebut.
Iya, ular. Anda tidak salah baca. Tetangga kami memang ada yang ekstrem seleranya. Pilihan binatang peliharaannya tidak lazim, yaitu seekor ular besar. Tidak berbisa, tetapi bisa meremukkan tubuh manusia yang dililitnya.
Anak saya juga akrab dengan rusa dan monyet. Kebetulan ada sebuah kompleks perkantoran di desa sebelah, yang memelihara sejumlah rusa dan seekor monyet. Monyetnya dirantai, sedangkan rusa-rusa dibiarkan bebas berkeliaran.
Pada waktu sore atau di hari libur, banyak orang tua yang mengajak anak-anak mereka bermain ke situ. Kebanyakan naik sepeda motor sebab rumah mereka lumayan jauh. Suasananya mirip piknik di kebun binatang khusus rusa.
Berhubung anak saya dan teman-teman mainnya merupakan warga lokal, mereka punya privilese. Bisa sering datang kapan saja. Terlebih akses main-main ke situ bebas. Tanpa mesti membeli tiket masuk.
Lebih istimewa bagi anak saya karena dia selama 2 tahun bersekolah di TK yang dikelola darma wanita perkantoran tersebut. Serasa saudaraan dengan monyet dan rusa-rusa itu.
Nah. Anda setuju atau tidak kalau pengalaman bermain anak saya itu disebut sebuah privilese? Sebuah privilese retjeh yang kerap tak disadari sehingga lupa untuk disyukuri?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H