KAMIS lalu, 9 Maret 2023, satu hari sebelum Deep Purple manggung di Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta, saya dan dua anggota KJog (Kak Dian dan Kak Mesha) ikut CLICK Kompasiana dolan ke Solo. Tentu nyepur alias naik kereta api . CLICK Kompasiana 'kan memang tak jauh-jauh dari kereta api.
Masjid Raya Sheikh Zayed. Yang jaraknya kurang lebih 1 km saja dari Stasiun Balapan. Dekat memang. Bahkan, masjid megah tersebut sudah tampak jelas dari lantai atas Stasiun Balapan.
Tujuan pertama kami adalahPastilah pemandangan kereta api dengan latar belakang Masjid Raya Sheikh Zayed mengundang minat para penumpang yang barusan tiba di Solo. Terutama penumpang sejenis saya, yang baru pertama kali turun di Stasiun Balapan sejak masjid megah tersebut berdiri.
Begitulah adanya. Pemandangan rel, kereta api, dan masjid di kejauhan rupanya bikin semua makhluk berbahagia dengan kamera HP masing-masing. Meriah.
Makin meriah karena kemudian melintas rombongan anak-anak TK dan SD. Mungkin mereka tadi satu kereta dengan kami, tetapi beda gerbong. Perlu diketahui, anak-anak sekolah (terutama TK) di Jogja memang banyak yang mengadakan program melancong ke Solo dengan KRL. Hal ini sudah mentradisi sejak dahulu tatkala Prameks masih eksis.
Melihat anak-anak yang senantiasa antusias begitu sungguh menyenangkan. Bikin lupa pada peperangan antara Rusia dan Ukraina. Juga pada kisah-kisah brutal yang berujung kesedihan, yang belakangan kerap terjadi.
Jalan Pintas yang Asyik
Setelah semua peserta CLICK Goes to Jogja berkumpul di halaman Stasiun Balapan, walking tour menuju Masjid Raya Sheikh Zayed pun dimulai. Iya, kami berjalan kaki ramai-ramai dari stasiun. Menyusuri jalanan kecil berdebu yang ada di sebelah stasiun.
Entahlah debunya dari mana. Memang dari jalanannya ataukah dari reruntuhan bangunan-bangunan lama di sepanjang jalan tersebut.
Terusterang saja saya sedih menyaksikan reruntuhan itu. Terlebih Kak Dian bilang, "November 2022 lalu rumah-rumah kunonya masih berdiri. Teduh asri dengan pepohonannya."
Dia kebetulan pernah lewat jalan berdebu itu beberapa bulan silam. Saya yang penikmat arsitektur bangunan kuno pun tertegun mendengar penuturannya. Apa boleh buat? Atas nama pembangunan, acap kali memang ada "pengorbanan" serupa itu.
Tentu walking tour kami lakukan sambil cekrak-cekrek. Misalnya yang terlihat dalam foto di bawah ini. Pak Taufiek sedang berpose sebab sedang dipotret oleh Bu Sukma. Sementara Kak Dian berjalan di sebelahnya sembari khusyuk memvideo Kak Mesha.
Terniat sekali memang. Sinar matahari yang amat cetar membakar kulit pun tak menyurutkan hasrat pepotoan. Senyampang lewat situ yang pastinya beberapa bulan ke depan, kondisinya bakalan tak lagi sama. 'Kan bisa untuk dokumentasi.
Jalanan kecil berdebu yang kami lewati berujung pada sebuah jalan raya yang padat. Untuk sampai ke Masjid Raya Sheikh Zayed, kami harus menyeberanginya. Setelah sampai di seberang jalan, kami pun kembali menyusuri jalanan di dalam gang.
Hingga akhirnya, tibalah kami di lokasi sebuah proyek ....
Â
Bagi saya, inilah spot yang paling asyik di sepanjang perjalanan. Kami berjalan di tengah tanah lapang. Di bawah sorotan matahari langsung dan tanpa peneduh sama sekali. Di antara alat-alat berat, para pekerja proyek, rel-rel kereta api, bahkan sempat pula melintas kereta api hijau yang menuju timur.
Sementara di kejauhan, masjid yang hendak kami kunjungi tampak gagah berdiri. Nah, bagaimana? Apakah Anda juga menyukai foto di bawah ini?
Pemandangan dalam foto di atas sudah indah. Namun, pasti lebih indah jika ada tambahan rumput ilalang di depannya. Lagi-lagi Kak Dian bercerita bahwa beberapa bulan lalu, di situ masih banyak rumput ilalang.
Saya perhatikan ada pula jasa ojek pangkalan di area proyek tersebut. Menawarkan tumpangan berbayar ke Masjid Raya Sheikh Zayed. Maklumlah. Walaupun "berjudul" jalan pintas, jaraknya masih lumayan jauh bagi orang-orang yang tak terbiasa berjalan kaki. Terlebih cuaca sedang panas sekali.
Masuk Masjid dengan Strategi Jitu
Sesaat jelang berkumandangnya azan zuhur, kami sudah berada di depan masjid. Nah! Berawal dari sinilah rombongan CLICK Goes to Jogja terpencar. Apa mungkin gara-gara Goes to Jogja-nya sampai bablas ke Solo, ya?
Saya semula berjalan bersisian dengan Mbak Wahyu Sapta di trotoar depan masjid. Tentu saya berjalan sembari motret-motret apa pun yang layak dipotret. Eh, tahu-tahu beliau sudah tak terlihat lagi di sekeliling saya. Â
Setelah celingukan sendiri beberapa menit, saya melihat Kak Dian dan Kak Mesha di kejauhan. Mereka tampaknya sedang mengobrol dengan satpam masjid.
Setelah keduanya sampai di tempat saya berdiri, barulah saya tahu bahwa mereka tidak diajak mengobrol oleh satpam. Sesungguhnya mereka tadi dicegat dan ditegur karena tak berjilbab. Baju mereka pun dianggap kurang sopan.
Demi mengetahui hal itu, saya teringat sesuatu. "Wah, iya. Mestinya kubawakan jilbab instan buat kalian. Aku tidak kepikiran."
"Aku sih, bawa ini." Kak Dian berkata sambil mengeluarkan selembar pasmina hitam.
"Lho?" Saya takjub memandanginya dan bertanya, "Kok kamu malah sudah persiapan?"
Jawab Kak Dian sambil nyengir, "Buat jaga-jaga. Biasanya kalau masuk masjid 'kan disuruh menutup aurat."
"Aku enggak bawa," kata Mbak Mesha.
Seketika saya tertawa-tawa mendengarnya dan berujar, "Ini ironis. Kami yang Islam malah enggak persiapan."
"Untung satpamnya nanya 'mau masuk masjid?', bukan 'mau shalat?'. Jadi, aku bisa dengan pede menjawab 'iya'. Kalau satpam nanya 'mau shalat?', aku mesti bingung menjawabnya. Hehehe ...."
Kami pun tertawa-tawa lagi mendengar penuturan Kak Dian. Kemudian dia berujar, "Eh, eh. Tapi ini bagaimana cara makainya? Rambutku nanti pasti tetap kelihatan."
Kata Kak Mesha, "Enggak apa-apa. Makainya kayak Bu Shinta itu, lho. Istri Gus Dur. Tahu 'kan?"
"O, iya. Bu Shinta. Tahu, tahu."
Akan tetapi, persoalan belum kelar sampai di situ. Kami masih mencari strategi supaya diizinkan masuk masjid karena belum ada kerudung untuk Kak Mesha.
Saat seorang satpam perempuan keluar dari masjid, saya mengejar dan memanggilnya, "Mbaaak, Mbaaak!"
"Iya? Ada yang bisa saya bantu?"
"Gini, Mbak. Masuk masjid 'kan wajib berkerudung. Apa di sini tersedia kerudung yang bisa dipinjam? Supaya pengunjung yang tak berjilbab bisa masuk?"
"Hmm. Enggak."
Duh! Jawaban Mbak Satpam meruntuhkan asa. Semula saya berharap pengelola Masjid Raya Sheikh Zayed menyediakan pinjaman kerudung bagi pengunjung yang tak berjilbab. Ternyata tidak.
"Aku pakai mukena dari luar sajalah. Nanti dilepas lagi kalau mau wudu," kata Kak Mesha akhirnya.
"Ah, iyaaa. Iyaaa. Betul sekali," respons saya dengan gembira. Merasa telah menemukan strategi jitu untuk masuk masjid. Tak ada rotan, akar pun jadi.
Konyolnya, kami menyusun strategi itu tepat di depan gerbang utara yang juga ada satpamnya. Adapun Kak Dian dan Kak Mesha ditegur satpam di gerbang selatan. Alhamdulillah tak ada teguran lagi setelah penampilan mereka berubah syar'i.
Akan tetapi, kami tak langsung menuju ruang shalat. Sinar matahari bertambah terik sehingga kami putuskan berteduh dulu di pojokan gerbang masjid. Duduk lesehan sembari memandangi air mancur di kolam. Sudah pasti sambil memotret dan memvideo. Tatkala itulah tiba-tiba muncul Mbak Wahyu Sapta dari arah dalam.
"Mau ikut makan dulu. Bareng Mbak Selsa dan Mbak Sri di depan sana," jawab beliau saat saya tanya hendak ke mana.
Makan dulu adalah sebuah ide bagus. Akan tetapi, pendaran cahaya matahari yang cetar membahana lebih membuat kami haus ketimbang lapar. Jadi, kami tidak berminat ikut makan dulu.
Kami berencana shalat Zuhur dulu, plus pepotoan, baru cari makan. Namun sebelum melangkah ke bagian dalam masjid, kami putuskan untuk minum dulu. Selagi masih di area luar ruangan. Sebab tentunya, tidak boleh makan dan minum di dalam masjid.
Sebelum menuju basement untuk berwudu, kami mencopot sepatu dan kemudian menyimpannya di plastik khusus. Untuk urusan yang satu ini Kak Mesha dan saya memang sudah punya persiapan sempurna. Sudah bawa plastik sepatu dari rumah.
Kami belajar dari pengalaman Mas Gibran yang kehilangan sandal jepit saat Jumatan pertama di Masjid Raya Sheikh Zayed. Video Tiktok tentang peristiwa itu 'kan wara-wiri di linimasa kami.
Tertinggal dan Kembali ke Jalan Pintas Asyik
Sebelum betul-betul menginjak bagian dalam masjid, saya melihat Pak Sutiono di kejauhan. Beliau sedang duduk sendirian. Mungkin sedang menunggu Pak Taufiek dan anggota rombongan yang lain.
Bahkan saat sedang menunggu antrean mukena (saya tidak membawanya sehingga pinjam mukena Kak Mesha), saya sempat melihat empat peserta CLICK Goes to Jogja. Tampaknya mereka sedang berjalan menuju basement untuk berwudu.
Nah. Karena merasa telah tahu posisi para peserta CLICK Goes to Jogja, saya tenang-tenang saja. Tidak berpikir bahwa segera setelah shalat Zuhur mesti beranjak ke destinasi lain.
Tahu-tahu ketika menengok HP, o la la! Ternyata ada notifikasi kalau Mbak Selsa menelepon. Berhubung tak saya angkat, beliau berkirim pesan bahwa mereka akan ke Mangkunegaran.
Saat buka WAG CLICK Goes to Jogja, ada pemberitahuan bahwa kami boleh menyusul ke Mangkunegaran atau langsung menunggu di stasiun. Dengan pertimbangan daripada menyusul dan malah tlisipan, kami pilih opsi langsung ke stasiun.
Beberapa waktu kemudian ada pemberitahuan lagi kalau rombongan batal ke Mangkunegaran karena tutup pada pukul 14.30 WIB. Ya, sudah. Kami makin mantap dengan opsi langsung menunggu di stasiun.
Singkat cerita, sesudah lelah berada di antara jubelan para pengunjung (jamaah), kami makan soto di salah satu warung yang berderet di depan Masjid Raya Sheikh Zayed. Harganya mengagetkan karena normal. Cuma Rp8.000,00 per batok (tempurung kelapa).
Saya kira harga bakalan jauh lebih mahal karena masjidnya sedang naik daun. Namun, syukurlah penjualnya baik hati dan tidak memanfaatkan momentum harga dengan brutal. Jadi, kami bisa makan murah dengan citarasa lumayan di tempat yang bersih dan asri. Suasananya seperti lesehan di teras rumah budhe.
Rencana kami hendak kembali ke Stasiun Balapan melalui Terminal Tirtonadi. Di antara kedua tempat itu ada jembatan penghubungnya. Kami bisa mempersingkat jarak tempuh dengan berjalan kaki dari Terminal Tirtonadi ke Stasiun Balapan atau sebaliknya.
Akan tetapi, kami batalkan rencana indah tersebut. Akses ke terminal sedang ditutup. Demikian informasi yang kami peroleh dari seorang penjual cilok. Jadi, kami kembali melalui jalan pintas yang asyik.
Rute remidi kami tempuh dengan suasana yang jauh lebih teduh. Tentu itu amat menguntungkan. Selain tak perlu berpayung, kami bisa lebih leluasa bermain-main di sepanjang perjalanan. Bisa memotret dan memvideo apa-apa yang tadi terlewat.
Tak salah lagi. Jalan pintas asyik itu memang asyik untuk dilewati sambil menikmati keindahan Masjid Raya Sheikh Zayed dari kejauhan. Walaupun bagi para pekerja proyek di situ, kehadiran kami mungkin mengganggu.
***
Demikian kisah dolan saya bersama CLICK Kompasiana dalam program CLICK Goes to Jogja, yang kemudian bablas ke Solo. Seru 'kan? Sepertinya saya masih akan menuliskan pengalaman selama berada di Masjid Raya Sheikh Zayed itu. Tolong nantikan tulisan saya berikutnya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H