Berdasarkan pengalaman semasa sekolah dahulu, belajar pagi-pagi memang terasa efektif. Otak masih segar sehabis tidur. Lingkungan sekitar belum bising.
Akan tetapi, belajar pagi-paginya itu sendirian. Di rumah masing-masing. Dalam suasana santai, bahkan bisa sambil meneguk minuman hangat yang disediakan oleh bapak atau ibu.
Kalaupun sedang malas baca buku pelajaran, bisa baca-baca buku lain. Kebetulan bapak saya memberikan kemerdekaan penuh dalam hal bacaan. Yang penting mau membaca buku koleksi beliau.
Setelahnya mandi dan melakukan aneka persiapan lainnya sebelum berangkat ke sekolah. Niscaya tidak bakalan telat kalau jam belajar sekolah dimulai pukul 7. Tidak pula perlu buru-buru.
Itu pengalaman saya dahulu. Yang memang setengah dipaksa bapak untuk baca buku atau belajar Subuh-subuh. Dimulainya sejak saya SD. Bukan ketika sudah SMA.
Saat SMA saya malah sudah tak di rumah karena telah menjadi anak kos. Yang berarti telah mempraktikkan kebiasaan bangun pagi secara mandiri.
Lain lagi dengan pengalaman anak saya yang kini sedang bersekolah di sebuah SMK. Saya hanya bisa mewajibkannya baca buku dan belajar, tetapi waktunya tidak pagi-pagi begitu.
Alasannya teknis. Pada pukul 06. 45 WIB dia harus sudah berada di sekolah. Untuk itu berangkat dari rumah maksimal pukul 06.05 WIB. Demi menghindari jam-jam macet. Terlebih yang dipergunakan transportasi umum.
Jadi, selepas Subuhan dia tidak belajar. Yang dilakukannya adalah mengecek ulang apa-apa yang mesti dibawa ke sekolah pada hari itu.
Mengecek ulang lho, ya. Adapun penyiapan semua tugas sekolah dan ekstrakurikuler dilakukannya malam sebelum tidur. Tujuannya agar tidak buru-buru sehingga malah ada yang kelupaan.
Cek ulang tersebut amat perlu dilakukan. Bisa gawat kalau ada yang tertinggal. Terlebih bila yang tertinggal adalah salah satu perlengkapan seragam. Karena yang akan kena hukuman bukan cuma si bocah.