Mohon tunggu...
Agustina Purwantini
Agustina Purwantini Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Pada dasarnya full time blogger, sedang belajar jadi content creator, kadang jadi editor naskah, suka buku, serta hobi blusukan ke tempat heritage dan unik.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Perbedaan 'Kami' dan 'Kita' dalam Bahasa Indonesia

22 Januari 2023   20:55 Diperbarui: 26 Januari 2023   08:53 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bermula dari tulisan Kompasianer Hennie Triana Oberst yang berjudul "Belajar Bahasa Indonesia: 'Kami' Tidak Ada dalam Bahasa Jerman", ingatan saya melayang ke masa lalu. Ke masa-masa akhir perkuliahan.

Tatkala itu sembari mengerjakan skripsi, saya bekerja paro waktu di fakultas tempat saya kuliah. Tepatnya sebagai tutor untuk mahasiswa asing yang belajar bahasa dan kebudayaan Indonesia.

Jadi selama satu periode belajar, tiap mahasiswa asing didampingi satu tutor. Tutornya berganti setiap dua minggu. Selain agar tidak bosan, tujuan pergantian tutor adalah menegakkan keadilan.

Maksudnya begini. Tingkat kemampuan berbahasa Indonesia para mahasiswa asing itu 'kan bervariasi. Ada yang lancar, ada yang pas-pasan. Jadi tugas tutor yang mahasiswa asing dampingannya sudah mahir berbahasa Indonesia, jelas lebih ringan. Sebaliknya pun demikian. Itulah sebabnya diterapkan rotasi jadwal.

Terkait dengan pekerjaan itulah, saya sering berhadapan dengan teman-teman mahasiswa asing yang lumayan kesulitan untuk mempergunakan 'kami' dan 'kita' secara tepat. Terlebih kalau dalam obrolan (percakapan tatap muka).

Mereka berasal dari berbagai negara. Namun, rata-rata dari negara yang mempergunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama.

Karena sebelum datang ke Indonesia sudah mempelajari bahasa Indonesia, mereka tentu saja tahu bahwa 'kami' dan 'kita' merupakan terjemahan dari 'we'. Sudah tahu pula bahwa keduanya berbeda penggunaan.

Akan tetapi, paham secara teoretis belum tentu dapat berpraktik dengan lancar. Kadangkala ada saja kendalanya. Terlebih kalau si mahasiswa asing grogian, pemalu, dan takut ditertawakan bila salah.

Bisa makin puyeng dia, kalau dalam sebuah obrolan banyak mempergunakan 'kami' dan 'kita'. Tingkat kepuyengannya pun berlipat ganda manakala para penutur asli justru acakadut dalam mempergunakan kedua kata tersebut.

Dalam bahasa Indonesia, makna serta penggunaan 'kami dan 'kita' jelas berbeda. 'Kami' adalah kata ganti orang pertama jamak yang dipergunakan untuk menyatakan bahwa pembaca atau lawan bicara tidak dilibatkan. Sementara 'kita' adalah kata ganti orang pertama jamak yang menyatakan bahwa pembaca atau lawan bicara dilibatkan.

Contohnya sebagai berikut.

"Kami akan membuat antologi puisi." --> Berarti pembaca atau lawan bicara tidak ikut berkontribusi dalam antologi tersebut.

"Kita akan membuat antologi puisi." --> Berarti pembaca atau lawan bicara ikut berkontribusi dalam antologi tersebut.

Penutur asli bahasa Indonesia mestinya telah khatam dengan persoalan ini. Istilahnya, tak perlu lagi berpikir keras untuk mempergunakan 'kami' dan 'kita' secara tepat. Sudah otomatis. Istilah agamisnya, sudah menjadi "akhlak".

Namun, di situlah justru letak masalahnya. Ternyata banyak penutur asli bahasa Indonesia yang tidak paham penggunaan kedua kata tersebut. Termasuk yang dijumpai dan diajak bicara oleh mahasiswa asing yang saya tutori.

Kondisi itu sudah pasti menambah kepuyengan si mahasiswa asing. Alhasil, saya kerap mengulang-ulang penjelasan tentang penggunaan 'kami' dan 'kita'.

Kerap mengulangi penjelasan untuk hal yang sama memang sedikit membosankan. Terusterang saja, tatkala itu ada sekelumit rasa kesal juga. Akan tetapi, yang paling mengesalkan justru ketika salah satu mahasiswa asing yang saya tutori berkeluh kesah begini, "Mengapa orang Indonesia sendiri tidak tahu perbedaan 'kami' dan 'kita'? Kalau mereka tidak tahu, mengapa kami harus mempelajarinya?"

Tentu saya hanya bisa meresponsnya dengan cengiran manis. Kemudian akhirnya berkomentar diplomatis, "Siapa pun wajib taat pada kaidah bahasa Indonesia ketika sedang berbahasa Indonesia. Kalau tidak tahu kaidahnya, ya wajib mempelajarinya."

Kekhasan dan Keunikan Linguistik

Sejujurnya saya merasa perlu angkat topi tinggi-tinggi untuk putri Mbak Hennie (Kompasianer Hennie Triana Oberst). Tatkala sejumlah remaja Indonesia seusianya tidak tahu perbedaan 'kami' dan 'kita' dalam bahasa Indonesia, sedangkan mereka tinggal di Indonesia dan notabene berbahasa Indonesia dalam keseharian, dia mau repot-repot belajar untuk mengetahuinya.

Dalam hal ini, tentu saja dia termasuk penutur asing. Bukan semata-mata karena darah Indonesianya cuma setengah, melainkan lebih merujuk pada bahasa keseharian yang dipergunakannya.

Namun, tidak bijaksana kiranya kalau saya serta-merta menyalahkan para remaja Indonesia saja. Mengapa? Karena yang tua-tua dan agak tua pun banyak yang tak peduli dengan perbedaan 'kami' dan 'kita' dalam bahasa Indonesia.

Jangan lupa. Yang tua-tua dan agak tua itu 'kan orang-orang yang sezaman dengan saya. Termasuk mereka yang dahulunya punya andil "merusak" pemahaman mahasiswa asing yang saya tutori.

Ironis memang. Penutur asing sudah susah payah menghafalkan perbedaan 'kami' dan 'kita'. Sudah berusaha keras mempergunakan keduanya secara tepat dalam bahasa Indonesia, ujungnya malah bertemu dengan penutur asli yang bahkan tak paham dengan perbedaan 'kami' dan 'kita'.

Bertahun-tahun kemudian ketika sudah menjadi orang tua, rupanya mereka tetap kurang perhatian kepada 'kami' dan 'kita'. Akibatnya, mereka lalai pula untuk mengajarkannya kepada anak-anak.

Walaupun guru bahasa Indonesia sudah memahamkan perihal penggunaan 'kami' dan 'kita, orang tua idealnya juga membantu memahamkan. Di sekolah anak-anak diajari secara teori. Sementara di rumah, orang tua mendampingi saat mempraktikkannya dalam obrolan keseharian. Bukankah kelancaran berbahasa adalah hasil berpraktik?

Idealnya seperti itu. Namun, apa boleh buat? Fakta berbicara lain. Sejauh pencermatan saya, hingga sekarang masih sering terjadi ketidaktepatan penggunaan 'kami' dan 'kita' dalam bahasa Indonesia.

Memprihatinkan! Kian memprihatinkan ketika ada yang menggerutu, "Mengapa harus ada 'kami' dan 'kita' dalam bahasa Indonesia? Bikin ribet saja. Mengapa tidak disimpelkan seperti 'we' dalam bahasa Inggris?"

Hmm. Bertobatlah, wahai penutur asli bahasa Indonesia yang menggerutukan hal itu. Keberadaan 'kami' dan 'kita' dalam bahasa Indonesia sesungguhnya merupakan sesuatu yang istimewa. Menunjukkan kekhasan dan keunikan linguistik bahasa Indonesia. Memperkaya bahasa Indonesia.

Alih-alih bikin ribet, keberadaan 'kami' dan 'kita' dalam bahasa Indonesia justru memudahkan. Membuat makna kalimat lebih jelas (lebih spesifik) sehingga meminimalkan potensi salah paham.

Mari ingat-ingat lagi perbedaan 'kami' dan 'kita'. Kalau seseorang mempergunakan 'kami' tatkala berbincang-bincang, berarti ia tidak melibatkan lawan bicaranya. Misalnya, "Kami akan pergi." Jadi, lawan bicaranya tidak diajak pergi.

Manakala seseorang mempergunakan 'kita', berarti ia melibatkan lawan bicaranya. Misalnya, "Kita akan pergi." Jadi, lawan bicaranya diajak pergi.

Nah. Sampai di sini saya pikir Anda sekalian pasti telah paham. Dengan demikian, tak ada alasan lagi untuk tidak mengetahui perbedaan penggunaan 'kami' dan 'kita'.

Dalam banyak kesempatan, wacana melestarikan budaya adiluhung kerap digaungkan. Itu merupakan sebuah tekad yang besar 'kan?

Nah! Karena bahasa termasuk salah satu dari unsur kebudayaan, setujukah Anda bila saya ajak melestarikan budaya mulai dari hal yang kecil? Mulai dari melestarikan makna kata 'kami' dan 'kita' ini.

Penutup

Semoga saja Nicholas Saputra, aktor keren lahir batin yang blasteran Jerman itu, paham perbedaan penggunaan 'kami' dan 'kita' dalam bahasa Indonesia. Sungguh berbahaya bila tidak. Berpotensi bikin saya ke-GR-an tiada tara.

Jika ia mengatakan, "Bulan depan kita menikah di Bali" dan cuma saya yang ada di dekatnya, saya seketika bisa melambung hingga langit ketujuh. Mengira dilamar secara dadakan. Sementara Nicholas Saputra bermaksud memberikan informasi belaka.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun