Begini alasannya ...
Beberapa waktu lalu, di acara "Indonesia Menyapa Pagi", seorang pendengar setia RRI Pro 3 menelepon. Ia menelepon untuk memilih topik pilihan yang ditawarkan redaksi.
Kemudian sang penyiar bertanya, "Pendapat Bapak melihat pertandingan semalam gimana?"
Dijawab, "Mohon maaf, terusterang saja saya ini tunanetra. Jadi, tidak bisa melihat. Hanya bisa memdengarkan hasilnya. Kapan nih, RRI Pro 3 mengadakan dengar bareng?"
Tatkala itu sang penyiar menjawab, "Iya, mohon maaf, Pak. Belum ada. Mungkin nanti kalau babak 16 besar, ya?"
Ternyata, oh, rupanya. Jawaban tanpa nada janji itu diwujudkan. Alhasil, saya sudah beberapa kali ikutan DEBER.
Sebuah interaksi yang keren, bukan? Saya pikir, kalau model hubungan yang dibangun penyiar dengan para pendengarnya sehangat itu, radio bakalan tetap eksis.
Asal tahu saja, pada masa lalu ketika TV belum mampu dipunyai oleh khalayak umum, semua pecandu sepakbola sebetulnya melakukan DEBER. Terutama ketika ada piala dunia atau ajang kejuaraan penting lainnya.
Saya tahu pasti hal itu. Saya 'kan pelaku DEBER waktu kecil dulu. Ikut-ikutan bapak.
Iya. DEBER adalah kenangan manis saya bersama bapak, semasa radio sedang jaya-jayanya. Jadi, sekarang saya sedang memutar kenangan manis itu.
Berpijak pada keseharian dan pengalaman bersama radio, saya kok optimis dengan masa depannya.