Taman (Kampung Wisata Tamansari Yogyakarta).
Sebenarnya sudah beberapa kali saya dan teman-teman #purapurajogging di kampung tersebut. Akan tetapi, titik keberangkatan kerap dimulai dari lokasi yang berlainan. Tergantung kondisi dan keperluan sampingannya.
Kadangkala dari barat (masuk gang di samping SDN Keputran II Yogyakarta), dari selatan (masuk gang di samping SMPN 16 Yogyakarta), dari utara (masuk lewat jalan di belakang Pasar Ngasem), atau dari timur.
Akan tetapi, kalau masuk dari timur kami akan belok ke kiri atau ke kanan sebelum sampai di gerbang utama Tamansari Water Castle. Melipir lewat jalan lain, dong. Tidak melalui gerbang utama yang ada loket tiketnya.
Mengapa? Karena memang tidak bisa lewat situ. Gerbang dan loket tiket masih tertutup rapat. Petugas belum datang. Pedagang pun belum ada yang membuka lapak. Baru ada petugas kebersihan.
Jangan lupa. Saya dan teman-teman #purapurajogging sekitar pukul enam pagi. Kadang-kadang malah lebih pagi lagi. Sementara Tamansari Water Castle buka sekitar pukul sembilan.
Justru saat dalam perjalanan pulang, kami baru berpapasan dengan para pemandu wisata. Mereka sedang dalam perjalanan menuju tempat kerja, yaitu Tamansari Water Castle.Â
Kok tahu kalau mereka pemandu wisata? Tentu saja tahu karena saya dan teman-teman ditawari jasa mereka. Kami dikira wisatawan luar kota yang sedang kebingungan mencari gerbang masuk Tamansari Water Castle.
O, ya. Kampung Taman termasuk ke dalam wilayah administratif Kemantren (Kecamatan) Kraton. Lokasinya memang di dalam tembok kraton. Jadi, Kampung Taman merupakan kampung njero benteng.
Wilayah Kampung Taman tidak terlalu luas. Standar sajalah ukurannya. Tidak luas sekali, pun tidak bisa dikatakan kecil.
Jika Anda pernah mengunjungi Tamansari Water Castle dan sungguh-sungguh mengeksplorasi semua spot heritage yang ada, tentu dapat membayangkan luasannya. Karena kalau mau mengeksplorasi begitu, berarti sudah menjelajahi separo kampung.
3 Fakta Menariknya
Lalu, apa saja 3 fakta menarik yang ada di Kampung Wisata Tamansari itu? Baik. Mari langsung saya sampaikan.
PERTAMA, ada atmosfer pariwisata yang sangat kuat di seluruh penjuru kampung.
Meskipun menyusuri jalanan sempitnya pagi-pagi, yang berarti belum ada wisatawan, tetap saja kami merasa sedang berpiknik ketika #purapurajogging di Kampung Taman itu.
Betapa tidak? Di kiri kanan jalan sempit berkonblok ada deretan rumah penduduk yang mayoritas bergaya masa lalu. Ada yang murni sebagai tempat tinggal. Ada yang sebagian disulap menjadi galeri seni atau toko-toko yang menjual berbagai macam hasil kerajinan tangan. Ada pula rumah yang dimanfaatkan untuk berjualan makanan tradisional.
Kondisi tembok rumah dan pagar tembok pun tak kalah estetik. Demikian juga bangunan kamar mandi umumnya. Semua menjadi kanvas bagi mural-mural indah aneka tema. Yang sejauh pengetahuan saya, dalam periode tertentu mural-mural tersebut diganti.
Misalnya sekarang di lokasi X saya berfoto dengan mural A. Belum tentu tahun depan bisa mengulang berfoto di lokasi X dengan latar mural A. Hehehe .... Ini berdasarkan pengalaman pribadi, sih. Maksud hati melakukan remidi pose dengan mural sama, ternyata muralnya sudah berbeda.
Saya kurang tahu pasti siapa pembuat mural-mural itu. Entah seniman dari luar kampung ataukah seniman dari kalangan warga setempat.
Pendek kata, banyak hal unik dan menarik yang layak dijadikan objek foto. Alhasil, tangan ini gatal untuk tidak jeprat-jepret memainkan kamera HP. Betul-betul menambah stok foto dan video secara signifikan.
Sungguh tak diragukan lagi. Penduduk Kampung Taman memang sudah sadar wisata. Mereka jeli menggali tiap potensi wisata yang dimiliki.
KEDUA, ada peradaban masa lalu dan masa kini yang hidup berdampingan, bahkan berimpitan.
Kampung Taman memang unik. Makna peradaban masa lalu berdampingan dengan masa kini benar-benar terjadi secara riil. Tampak secara nyata di depan mata. Bukan sekadar secara pemaknaan. Contohnya yang begini ini, nih.
Rumah dalam foto itu berbatasan tembok pagar dengan Tamansari Water Castle. Jadi saat memotret di anak tangga teratas, bila melirik sedikit ke kiri (arah utara), saya otomatis melihat bagian dalam destinasi bersejarah itu.
Adapun saya memotret dari atas, dari salah satu bangunan kuno yang juga merupakan bagian dari Tamansari Water Castle. Posisi saya di luarnya karena pintu-pintu belum dibuka. Namun, kalau nekad melompat masuk tentu bisa. Risikonya paling cuma jatuh dan dianggap maling.
Kalau mau lebih blusukan, bahkan kita bisa menemukan makam-makam tua yang lokasinya tak lazim. Misalnya di depan atau di samping rumah, bahkan ada pula yang di dalam rumah. Itu rumah yang ditinggali, lho.
Karena penakut, saya tak berani mengeksplorasi soal makam tersebut. Jangankan mengulik makam. Ketika mulai menaiki tangga batu, sebelum akhirnya tiba di tempat memotret rumah tadi, saya sudah degdegan dan penuh doa.
Bagaimana, ya? Sebelumnya saya 'kan telah mendengar cerita-cerita agak horor terkait lokasi tersebut. Dahulunya sempat bertekad tak akan naik-naik lagi di situ. Eh, malah pagi itu pepotoan segala.
Sejujurnya saya merasa seperti "nantangin" begitu. Alhamdulillah tak terjadi hal aneh-aneh. Atau, mungkin memang sebenarnya tak ada yang aneh-aneh.
KETIGA, ada Kampung Cyber.
Di Kampung Taman ada satu RT yang visioner dan futuristik, yaitu RT 36. Nah! RT 36 itulah yang disebut Kampung Cyber. Dari namanya Anda pasti bisa menduga bahwa kampung ini punya hubungan erat dengan internet. Kenyataannya memang demikian.
Eksistensi RT 36 sebagai Kampung Cyber kian mantap setelah dikunjungi Mark Zuckerberg, sang pendiri Facebook, pada tahun 2014. Dari mana Mark tahu keberadaannya? Tentu saja dari jagad maya.
Jadi saat berkunjung ke Indonesia, terkhusus Yogyakarta, ia menyempatkan diri untuk datang ke RT 36 itu. Sekalian membuktikan, apakah warga setempat benar-benar telah memanfaatkan internet dalam kehidupan sehari-hari.
RT 36 Kampung Taman merintis sebagai Kampung Cyber sejak tahun 2008. Inisiatornya warga setempat, yaitu Antonius Sasongko, yang bersama Ketua RT-nya tatkala itu pelan-pelan melakukan sosialisasi internet ke warganya.
Ketekunan mereka berbuah manis. Warga RT 36 pun lambat-laun melek internet. Wawasan dan kreativitas mereka berkembang seiring dengan kemudahan akses internet. Terlebih dipasang beberapa titik hotspot di seantero wilayah RT. Hasilnya? Menaikkan penghasilan warga.
Perlu diketahui bahwa rata-rata warga RT 36 adalah pengusaha UMKM di bidang batik. Setelah memanfaatkan internet, mereka pun mulai mempergunakan sistem daring selain luring.
Berhubung mereka memulainya beberapa tahun sebelum pandemi Covid-19, sebelum khalayak dipaksa akrab dengan hal-hal daring, maka saya menyebut Kampung Cyber RT 36 Taman itu visioner dan futuristik. Kiranya tempo hari warga Kampung Cyber tersebut menjadi warga yang paling siap menghadapi WFH dan SFH. Â
Demikian 3 fakta menarik yang kami jumpai saat pura-pura jogging di Kampung Wisata Tamansari Yogyakarta. Apakah menurut Anda aktivitas kami berfaedah? Silakan contek sajalah bila memang berfaedah.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H