Tak terasa ya, tahu-tahu Oktober sudah berada di ujungnya. Dalam hitungan jam, November bakalan tiba. Jadi, sebelum tengah malam saya wajib menayangkan tulisan ini. Tentu tujuannya agar masih terangkut dalam gerbong Bulan Bahasa 2022. Senyampang ada momentumnya 'kan? Hehehe ....
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tatkala sedang masygul gara-gara usai berkunjung ke beberapa blog dan menjumpai penggunaan "di" yang terbolak-balik dengan "di-", topik pilihan Kompasiana terkait Bulan Bahasa 2022 seperti menyuruh saya untuk menuliskan kemasygulan itu.
Bloger dan Kaidah Berbahasa Indonesia
Ada benang merah antara kemasygulan saya dengan topik pilihan Kompasiana "Kaidah Berbahasa Hari Ini Kian Memudahkan Pekerjaan Bloger". Apa benang merahnya? Tak lain dan tak bukan, keduanya sama-sama bikin saya masygul.
Fakta bahwa sebagian bloger masih bingung dengan cara penulisan "di" sebagai kata depan (misalnya "di rumah") dan "di-" sebagai imbuhan (misalnya "dibuang") amat meresahkan. Betapa tidak?
Seorang bloger atau narablog itu 'kan akrab dengan dunia tulis-menulis. Kok bisa-bisanya untuk kaidah paling dasar seperti itu sampai belum paham? Sungguh memprihatinkan.
Karena dalam konteks ini kita tinggal di Indonesia, notabene segala macam urusan mempergunakan bahasa Indonesia, baik dalam ragam tulis maupun ragam lisan.
Nah! Sebab berkiprah melalui tulisan, otomatis bloger mesti menguasai aturan-aturan berbahasa Indonesia dalam ragam tulis. Mau tidak mau, berani menjadi bloger berarti bersedia memahami EYD dan KBBI. Terutama untuk hal-hal mendasar seperti "di" dan "di-".
Masak sih, seorang bloger dari tahun ke tahun tahunya "di dorong"? Mengapa tidak kunjung paham kalau yang benar "didorong"? Mengapa pula selalu memilih "frustasi", kalau yang baku "frustrasi"?
Apakah sesulit itu untuk memahami EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) dan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)? Katanya bahasa Indonesia sepele dan mudah? Kok faktanya masih salah-salah ketika menggunakannya?