O, ya. Pengalaman yang saya kisahkan tersebut terjadi tatkala saya masih berdomisili di pinggiran Kota Yogyakarta. Di perbatasan antara Kota dan Kabupaten Bantul.
Bukan wilayah yang biasa disambangi wisatawan. Jadi, memang bisa dimaklumi kalau orang yang jalan kaki dengan pakaian rapi terlihat "menonjol". Apa penyebabnya? Karena pejalan kaki yang sering wara-wiri di situ pada umumnya petani dan para penggabur dara.
Perlu diketahui, gang tempat saya tinggal itu bisa dilewati mobil. Walaupun agak sulit kalau ada dua mobil berpapasan, jalanannya tergolong lebar. Masih pula dikonblok rapi sehingga tidak becek meskipun hujan lebat tiada tara.
Sejumlah pohon berjajar di sana sini. Masih ada areal persawahan di kiri kanan jalan. Bikin segar udara sekitar. Kalau beruntung, kita bahkan bisa melihat burung-burung belibis singgah di situ.
Nah, lho. Sampai di sini, Anda tentu paham mengapa saya mendongkol sekali hanya gara-gara "dilarang" jalan kaki.
Demikianlah segumpal pengalaman saya terkait aktivitas jalan kaki di Yogyakarta. Terkhusus di permukiman yang awam wisatawan. Kurang asyik memang.
Maklumlah, ya. Yogyakarta 'kan punya julukan Kota Sepeda. Bukan Kota Jalan Kaki.
Ngomong-ngomong, orang Yogyakarta yang jalan kaki itu konon hanya dua kemungkinannya. Pertama, wisatawan. Kedua, miskin (sehingga tidak mampu membeli kendaraan pribadi).
Itulah sebabnya saya berani memastikan. Karena takut menerima stempel miskin, kebanyakan orang pilih membeli sepeda motor walaupun dengan sistem cicilan yang lumayan berat. Tentu saja verbalitas alasannya bukan takut miskin, melainkan demi efisiensi dan kecepatan.
O, ya. Saya hobi ke mana-mana jalan kaki karena hemat, bisa sekalian untuk membugarkan badan, bisa sembari memotret dan memvideokan hal-hal menarik yang dijumpai di sepanjang perjalanan, serta tidak perlu berkonsentrasi penuh seperti halnya kalau mengendarai sepeda/sepeda motor.
Hmm. Saya sadar, kok. Saya ini bukan wisatawan. Jadi, automatis terindikasi sebagai miskin (meskipun tak miskin-miskin banget). Hahaha!