Makin gayeng ketika lomba karaoke untuk segala usia dan mempergunakan segala jenis lagu berlangsung. Riuh rendah pokoknya. Gimana enggak kalau 99,9 % peserta menyanyi dengan nada sesuai selera masing-masing?
Tambahan lagi, kostum para peserta rata-rata juga seadanya. Ada yang memang rapi jali dan bersiap tampil sebagai penyanyi. Akan tetapi, jauh lebih banyak yang berpenampilan santai macam di pantai. Yang sarungan juga ada. Pokoknya cuek bangeeet.
Puncak acara adalah jalan santai. Rutenya tak jauh, sih. Cuma mengelilingi kampung sendiri. Namun, yang penting kekompakannya 'kan?
Tua, muda, laki-laki, perempuan, warga asli, warga koskosan, warga yang kaya, warga yang tingkat perekonomiannya paspasan, rakyat jelata, pejabat, semua bebas merdeka saling sapa. Bahkan, saling ledek tanpa prosedur resmi kenegaraan/keinstitusian.
Begitulah faktanya. Dari tahun ke tahun, kegiatan jalan sehat dan sarapan bersama seolah-olah menjadi simbol dari kemerdekaan ala kami. Kemerdekaan yang hakiki.
Yang kami maknai sebagai hilangnya sekat-sekat sosial karena pada kesempatan tersebut, seluruh warga kampung (baca: warga RW) lebur dalam interaksi manusiawi.
Masing-masing tanpa dikomando, tanpa diverbalkan, berbesar jiwa menanggalkan embel-embel sosialnya. Alhasil, saya yang pendatang dan cuma rakyat jelata bisa bebas bersenda gurau dengan Pak Munichy Bachron Edrees.
Anda sekalian pastilah tak asing dengan nama beliau. Ya, benar. Beliau adalah cicit KHA Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah. Beliau juga merupakan arsitek yang dipercaya mendesain renovasi Masjid Istiqlal.
Saya juga bisa duduk santai di sebelah Pak Mustofa W. Hasyim yang sastrawan itu. Duduk santai sambil makan soto maksudnya. Tanpa mesti khawatir diajak ngobrolin sastra dan budaya. Hehehe ....