Malam ini, saat saya baru menyadari sesuatu. Ya, tak salah lagi. Sesuatu yang saya maksudkan adalah sesuatu yang tersirat pada judul tulisan ini, yakni terkabulnya harapan saya untuk menikmati malam 17 Agustus dalam sunyi.Â
Tahu sendiri 'kan ya? Di mana-mana di seantero Indonesia, pada tanggal 16 Agustus malam atau malam 17 Agustus, senantiasa banyak acara yang berlabel "Malam Tirakatan".Â
Yang praktiknya, sebagian besar acara tak mengandung unsur tirakat sama sekali. Bagaimana bisa disebut tirakat kalau acaranya malah berupa pentas seni?Â
Terlebih bila puncak acaranya dangdutan dengan gaya seronok tiada tara. Mana pula lagu-lagu yang didendangkan banyak yang bertema menyerempet-nyerempet pelecehan seksual ataupun stigma pada orang-orang tertentu.Â
Hadeeeh. Tirakatan macam apa itu?Â
Maafkan saya yang terkesan nyinyir begini. Hanya saja, saat kecil dahulu sejak mulai paham hiruk pikuk perayaan HUT RI hingga lulus SMA, saya berada di lingkungan yang mengadakan "Malam Tirakatan" Agustusan secara sunyi.Â
Dalam arti, acaranya tidak berupa pentas seni beserta penyerahan hadiah atas lomba-lomba Agustusan. Selalunya pentas seni dan penyerahan hadiah tersebut diselenggarakan jelang Agustus usai.Â
Terlebih tatkala itu bapak saya pasti pergi menghadiri undangan "Malam Tirakatan" di TMP kota kami. Â Jadi wajar toh, kalau yang tercetak di benak ini, "Malam Tirakatan" itu malam yang penuh doa dan laku tirakat.Â
Bahkan gara-gara aktivitas malam 17 Agustus bapak selalu di TMP (Taman Makam Pahlawan), saya pun mengidentikkan "Malam Tirakatan" dengan acara berdoa dalam sunyi di senyapnya kuburan.Â
Alhasil, saya terkejut ketika pindah domisili ke provinsi sebelah (yakni provinsi tempat saya tinggal sekarang) dan mendapati banyak acara berlabel "Malam Tirakatan" dengan performa gegap gempita.Â
Terusterang saja saat pertama kali diajak seorang teman untuk menghadiri "Malam Tirakatan" di kampungnya, saya amat terkejut. Mengapa? Sebab rangkaian acaranya sama dengan rangkaian acara pentas seni Agustusan di kampung halaman saya.Â
Tak jadi soal sih, sebenarnya. Yang terpenting semua itu mengindikasikan bahwa orang-orang antusias menyambut HUT kemerdekaan Republik Indonesia tercinta.Â
Bagaimanapun bisa membuat siapa  saja menjadi tersadarkan bahwa Indonesia masih ada. Alhamdulillah.Â
Akan tetapi, saya yang kurang menyukai kehirukpikukan ini menjadi sedikit tersiksa manakala menerima undangan "Malam Tirakatan" di kampung. Mau tidak mau mesti hadir, dong.Â
Sementara hasrat hati ini, pada tanggal 16 Agustus di sepanjang hari, maunya me time. Menyendiri, melakukan semacam refleksi diri, atau hal-hal lain yang tak melibatkan khalayak ramai. Â
Yeah? Apa boleh buat hasrat tersebut tiada pernah kesampaian. Hingga akhirnya ada pandemi. Yang berarti pada Agustus 2020 dan 2021, keinginan bersunyi ria jelang HUT RI terkabul. Tentu saya gembira karenanya meskipun tak suka pandeminya.
Nah! Yang tak disangka-sangka, ternyata pada tahun ini di kampung tempat tinggal saya sekarang, masih tak ada "Malam Tirakatan". Sementara pada hari-hari sebelumnya diadakan lomba-lomba dan jalan sehat yang heboh.
Wow! Kejutan manis buat saya, dong. Jadi, saya bisa tenang-tenang membaca, menulis semacam refleksi-refleksi hidup, dan sesekali rebahan dengan tenang di rumah.Â
Hmm. Jangan salah sangka dengan kekurangantusiasan saya dalam menerima gemerlap "Malam Tirakatan". Bukannya saya anti-NKRI atau gimana-gimana. Hanya saja, saya 'kan ingin merenungkan ulang perjalanan hidup saya, mengoreksinya, tepat pada tanggal ketika saya dilahirkan. Demikian.
Baiklah. Saya akhiri tulisan ini. Selamat bertirakat bagi Anda yang hendak lanjut tirakatan. Selamat HUT ke-77 Indonesiaku.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H