Kemudian nyambung enggak nyambung dengan makna puisinya, suasana malam yang sunyi pun bisa menyebabkan saya mengeluarkan desisan andalan.
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
(Chairil Anwar, "Krawang-Bekasi).
Lihatlah. Sungguh tak bisa diingkari bahwa saya senantiasa dihantui puisi-puisi Chairil Anwar. Namun, tunggu dulu. Anda tak perlu buru-buru menyimpulkan kalau saya adalah penggemar fanatiknya.
Iya, sih. Pada dasarnya saya memang suka puisi-puisi karya penyair bohemian tersebut. Akan tetapi, saya tak pernah bisa menentukan puisi mana yang terfavorit di hati. Itulah sebabnya saya selalu tidak dapat menjawab jika ditanya, "Mana puisi Chairil Anwar yang paling kausukai?"
Demikian pula jika ditanya, "Alasan apa yang membuatmu ngefans kepada Chairil Anwar?"
Ngefans? Saya tidak merasa ngefans dengan penyair yang dijuluki Si Binatang Jalang itu. Saya memang tahu, bahkan cenderung hafal, banyak puisinya. Plus mengagumi diksi-diksi pilihannya.
Akan tetapi, saya tak berani memproklamasikan diri sebagai penggemar beratnya. Tak tahu diri banget kalau sampai berani. Saya ini 'kan tidak ahli tentang Chairil Anwar. Pengetahuan saya tentangnya beserta karya-karyanya pun amat terbatas.
Jangankan ahli. Beli buku kumpulan puisinya atau buku yang membahas kepenyairannya saja tak pernah. Nah 'kan? Penggemar berat macam apa itu?
TAHU DARI MANA?
Lalu, dari mana saya mengetahui puisi-puisi Chairil Anwar? Dari hasil baca dan dengar di mana-mana, dong.
Jangan lupa. Saya adalah remaja 90-an dan tatkala itu puisi-puisi Chairil Anwar kerap dijadikan materi pelajaran untuk bidang studi bahasa dan sastra Indonesia. Mulai dari tingkat SD sampai SMA. Terlebih puisinya yang bertema perjuangan seperti "Diponegoro" dan "Krawang-Bekasi".