Hidup hanya menunda kekalahan!
(Chairil Anwar "Derai-derai Cemara")
Spontan saya mendesiskan kalimat itu manakala mendengar kabar kematian seseorang. Yang kebetulan saya ketahui bahwa sebelumnya, ia telah sedemikian keras bertarung melawan kerasnya kehidupan. Kemudian saya akan terdiam lama sebab terkurung aneka rupa pikiran dan perasaan.
Lain waktu ketika membaca curhatan medsos seseorang yang sedang kangen pada kekasihnya nun jauh di sana, spontan saya bisa berkomentar begini.
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri
(Chairil Anwar "Cintaku jauh di pulau")
Tak peduli kekasihnya di seberang pulau atau cuma di kabupaten sebelah, komentar saya sudah paten seperti itu.
Pada kesempatan berbeda, hanya gara-gara melihat tali jemuran berwarna, saya pun bisa mendadak merapalkan ini.
Bersandar pada tali warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
(Chairil Anwar  "Sajak Putih")
Jika berkesempatan menikmati senja di mana pun, baik di atap rumah saat mengambil jemuran maupun di tempat lain yang tak ada romantis-romantisnya, tetap saja spontan di benak saya melintas kata-kata manis berikut.
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
(Chairil Anwar, "Senja di Pelabuhan Kecil")
Jangan tanyakan lagi apa yang saya ingat tatkala sore dan hujan. Sudah pasti dalam kondisi begitu saya auto menggumamkan larik puitis ini.
Gerimis mempercepat kelam
(Chairil Anwar, "Kepada Sri Ayati").