Yup! Pokoknya mandiri is a must. Bagi mereka, usia hanyalah jumlah bilangan. Bukan alasan untuk meminta dimanjakan dan dilayani.
Kalau masih bisa melakukan sesuatu sendiri, buat apa meminta pertolongan? Termasuk untuk mengambil makanan dan minuman buat berbuka.
Walaupun dalam ritme lebih lambat daripada orang-orang pada umumnya, para eyang masih mandiri. Tidak membebani panitia. Panitia tinggal menunggu di meja menu, lalu menyerahkan makanan dan minuman kepada yang mendekat.
Nah! Â Kalau seperti itu kondisinya, apakah pantas kalau saya merasa mager alias malas gerak untuk menuju meja menu? Enggak tahu diri kalau nekad mager.
Rekaman kegiatan di mushola kami itu bisa dilihat di  Reel IG @agustinapurwantini  ... Berbagi, Tapi Mandiri
BERUSAHA TAAT PROKES
Selain mandiri dalam hal mengambil jatah berbuka puasa, kami di Mushola Aisyiyah masih berusaha taat prokes. Masker is a must. Kalau sampai ada yang lupa tak memakainya, Â takmir menyediakan masker gratis.
Saat duduk pun diimbau agar selalu jaga jarak. Praktiknya memang lumayan susah, sih. Namun, Â yang terpenting telah berusaha semaksimal mungkin. Â
Disarankan tidak mengobrol, apalagi dalam kondisi buka masker dan sedang makan/minum. Kalau saran yang ini relatif mudah ditaati. Setelah duduk manis menghadapi hidangan, kami terbiasa menunggu azan Magrib dalam diam.
Penyebab diamnya beraneka macam, sih. Ada yang diam karena khusyuk berzikir, melamun, atau mengantuk. Yang gokil itu kalau  diam karena merasa tidak kenal dengan orang di sebelahnya, padahal sesungguhnya kenal. Yup! Gara-gara muka tertutup masker.
Alhamdulillah ketika azan Magrib berkumandang, semua fokus membatalkan puasa. Pastilah cenderung  tetap dalam keheningan. Ada yang menyeruput teh hangat terus-menerus. Ada yang melanjutkannya dengan menikmati sepotong kue. Ada pula yang pilih mengudap kurma seperti saya.