Dalam semua bidang, orang yang menjadi panutan pastilah merupakan sosok keren. Kekerenan itu terutama terletak pada kemampuannya untuk menjaga segala tutur kata dan perilaku sehingga tidak sampai melukai hati siapa pun. Terlebih jika menjadi panutan dalam bidang keagamaan (menjadi ustaz/pendakwah).
***
Rumusan di atas paten. Tidak bisa diganggu gugat. Sungguh! Sama sekali bukan pendakwah panutan jika masih punya hobi senggol sama senggol sini dengan lisannya.
Yeah? Kalau perilakunya semacam itu, alih-alih menjadi panutan. Yang ada malah membangkitkan kepedihan di hati orang-orang yang telah disinggungnya. Justru berpotensi bikin gaduh.
Sementara seorang pendakwah adalah penyebar kedamaian. Bukan penyebar kegaduhan. Oleh karena itu, lisannya mesti lemah lembut kepada siapa saja.
Pendakwah tugasnya berdakwah. Mengajak umat untuk berbuat kebaikan. Mengingatkan umat agar senantiasa taat kepada semua perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Jadi, mana mungkin umat bersedia didakwahi kalau hati telah terlukai?
***
Saya yakin bahwa tiap pendakwah punya bekal ilmu keagamaan yang mumpuni. Menguasai pemahaman atas ayat-ayat-Nya SWT. Plus punya keberanian untuk menyampaikan ilmu dan pemahamannya itu. Tentu sembari mempraktikkan (mengamalkan) segala yang dipahami tersebut.
Akan tetapi, tak semua pendakwah layak dijadikan panutan. Apa alasannya? Sebab tidak tiap pendakwah mampu sepenuhnya mengamalkan (mempraktikkan) ilmu keagamaan yang dikuasai.
Tanpa perlu banyak penjelasan, pendakwah yang tak sanggup mengamalkan apa-apa yang didakwahkannya sendiri pastilah tak pantas dijadikan panutan. Berarti ia omdo. Omong doang tanpa memberi teladan nyata.
Pun, tidak semua pendakwah punya gaya berkomunikasi yang oke dalam berdakwah. Sementara komunikasi adalah koentji. Umat yang didakwahi bisa kabur jika kerap dibikin sakit hati.
***
Apa yang saya tuliskan ini berdasarkan pengalaman pribadi. Andai kata dahulu saya tidak bertemu Ustaz Wijayanto dan Mbah Suyuti, bisa jadi sampai hari ini saya masih malas-malasam melaksanakan salat fardu lima waktu.
Siapa mereka? Mbah Suyuti adalah tetangga saya di kampung halaman sana. Beliau merupakan takmir masjid kampung sekaligus kepala KUA setempat.
Mbah Suyuti sepertinya curiga kalau saya tak pernah beribadah salat fardu. Maklumlah. Saat itu keluarga saya masih kaum abangan tulen.
Akan tetapi, tiap kali kami berjumpa beliau selalu mengatakan, "Piye kabare Nduk? Masih indekos di kota kabupaten? Sekarang kelas berapa? Masih tetap salat lima waktu toh? Dijaga ya, salatnya."
Hmm. Saya memang tak pernah salat. Jadi, saya tak menjawab. Cengar-cengir saja. Namun, diam-diam berusaha rajin salat. Salut buat Mbah Suyuti yang cara menegurnya halus sekali.
Ketika mulai kuliah saya makin jarang berjumpa Mbah Suyuti. Bahkan, tak pernah lagi hingga beliau wafat. Namun, tugas beliau seolah diestafetkan kepada Ustaz Wijayanto.
Ustaz Wijayanto yang sekarang beken itu adalah dosen agama Islam saya sewaktu kuliah. Sama halnya dengan Mbah Suyuti, Ustaz Wijayanto sukses menegur saya dengan halus terkait urusan salat fardu.
Tatkala itu beliau mengatakan kepada para mahasiswa, "Semua bakalan dapat nilai A untuk agama Islam. Asalkan menjalankan salat lima waktu."
Tentu saya yang abangan tertegun mendengarkan perkataan tersebut. Merasa berat. Saya ingin nilai A, tetapi tidak salat. Akhirnya saat ditanya, apakah saya salat atau tidak, saya nekad berbohong. Saya menjawab bahwa saya rutin melakukan salat fardu. Jawaban saya dicatat.
O la la! Ketika nilai akhir semester dirilis, saya sungguhan memperoleh nilai A untuk makul Agama Islam. Saya takjub sebab Ustaz Wijayanto menepati janji. Alhasil pada detik itu juga, saya merasa malu sekali sebab telah berdusta. Jadi demi sportivitas, saya putuskan saat itu juga untuk mulai serius membenahi salat.
Sungguh, kedua pendakwah tersebut adalah panutan bagi saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H