Pun, tidak semua pendakwah punya gaya berkomunikasi yang oke dalam berdakwah. Sementara komunikasi adalah koentji. Umat yang didakwahi bisa kabur jika kerap dibikin sakit hati.
***
Apa yang saya tuliskan ini berdasarkan pengalaman pribadi. Andai kata dahulu saya tidak bertemu Ustaz Wijayanto dan Mbah Suyuti, bisa jadi sampai hari ini saya masih malas-malasam melaksanakan salat fardu lima waktu.
Siapa mereka? Mbah Suyuti adalah tetangga saya di kampung halaman sana. Beliau merupakan takmir masjid kampung sekaligus kepala KUA setempat.
Mbah Suyuti sepertinya curiga kalau saya tak pernah beribadah salat fardu. Maklumlah. Saat itu keluarga saya masih kaum abangan tulen.
Akan tetapi, tiap kali kami berjumpa beliau selalu mengatakan, "Piye kabare Nduk? Masih indekos di kota kabupaten? Sekarang kelas berapa? Masih tetap salat lima waktu toh? Dijaga ya, salatnya."
Hmm. Saya memang tak pernah salat. Jadi, saya tak menjawab. Cengar-cengir saja. Namun, diam-diam berusaha rajin salat. Salut buat Mbah Suyuti yang cara menegurnya halus sekali.
Ketika mulai kuliah saya makin jarang berjumpa Mbah Suyuti. Bahkan, tak pernah lagi hingga beliau wafat. Namun, tugas beliau seolah diestafetkan kepada Ustaz Wijayanto.
Ustaz Wijayanto yang sekarang beken itu adalah dosen agama Islam saya sewaktu kuliah. Sama halnya dengan Mbah Suyuti, Ustaz Wijayanto sukses menegur saya dengan halus terkait urusan salat fardu.
Tatkala itu beliau mengatakan kepada para mahasiswa, "Semua bakalan dapat nilai A untuk agama Islam. Asalkan menjalankan salat lima waktu."
Tentu saya yang abangan tertegun mendengarkan perkataan tersebut. Merasa berat. Saya ingin nilai A, tetapi tidak salat. Akhirnya saat ditanya, apakah saya salat atau tidak, saya nekad berbohong. Saya menjawab bahwa saya rutin melakukan salat fardu. Jawaban saya dicatat.