Dipindah ke mana Malioboronya?
Di mana Malioboronya kalau tidak ada PKL di emperan toko?Â
Ada-ada saja. Si komentator itu paham atau tidak sih, ya? Bahwa Malioboro adalah nama jalan? Kok malah bertanya dipindah ke mana? Dengan atau tanpa PKL, letak Malioboro ya bakalan tetap di situ.
Saya curiga. Kalau hal sepele begitu saja tidak paham, kemungkinan besar ia tidak tahu sejarah panjang Malioboro sebelum akhirnya dikenal sebagai Malioboro yang sekarang.Â
Wah, itu PR besar bagi pemangku kebijakan. Seiring dengan dilakukannya relokasi PKL Malioboro, idealnya dipikirkan juga cara mengenalkan wisatawan dengan masa lalu Malioboro. Mungkin dengan menawarkan paket-paket wisata sejarah di kawasan Malioboro. Tentu dengan didampingi pemandu wisata.Â
Dengan demikian wisatawan tak sekadar jalan, jajan, dan nongkrong berjam-jam di Malioboro, lalu pulang menenteng oleh-oleh. Lebih dari sekadar oleh-oleh yang ditentengnya, sang wisatawan bakalan bertambah pengetahuan tentang sejarah Malioboro.
Wow! Membayangkannya kok seru, ya. Bahkan bukan hal mustahil angan-angan saya di atas bakalan terwujud, jika ada pihak berwenang membaca tulisan ini dan kemudiam mempertimbangkannya. 'Kan tujuan saya baik?Â
Itung-itung untuk melengkapi tujuan baik relokasi PKL Malioboro. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Kepala Dinas Koperasi dan UKM (KUKM) DIY beberapa waktu lalu. Beliau tatkala itu menyatakan bahwa relokasi adalah upaya untuk memuliakan PKL Malioboro agar memperoleh tempat yang representatif.
Semoga tujuan baik tersebut tercapai. Prestise PKL-nya meningkat, laba penjualannya di lokasi baru pun demikian. Semoga pula kebesaran hati para PKL Malioboro untuk pindah ke lokasi baru berbuah hadiah dari UNESCO.Â
Perlu diketahui, relokasi PKL Malioboro sesungguhnya tak sekadar untuk kerapian. Ada tujuan yang lebih besar, yaitu menata kawasan Malioboro sebagai bagian dari upaya pemda DIY untuk mengajukan kawasan sumbu filosofi Yogyakarta sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO.Â
Siapa tahu dengan mensterilkan Malioboro dari PKL, UNESCO segera meluluskan pengajuan tersebut. Kalau tidak salah ingat, wacana pengajuan sudah ada sejak beberapa tahun silam. Jadi, siapa tahu karena emperan dan trotoar di Malioboro penuh sesak dengan aktivitas komersiil, UNESCO jadi pikir-pikir panjang.
Malioboro niscaya meningkat popularitasnya, jika kawasan sumbu filosofi Yogyakarta dinyatakan UNESCO sebagai warisan budaya tak benda. Ujung-ujungnya, pariwisata DIY bisa terdongkrak perkembangannya. Bukankah idealnya semua bisa merasakan manfaatnya? Mari berpengharapan baik saja.