Ketika pertama kali mendengar tentang Covid-19 varian Omicron, saya terhenyak. Merasa sedikit gugup plus cemas. Ruang ingatan saya seketika dipenuhi raungan sirine ambulans, rentetan kabar duka di WAG kampung dan alumni sekolah/kampus, serta wajah-wajah tetangga dan kolega yang berpulang setelah berjuang melawan Covid-19.Â
Yang sedihnya di antara para tetangga ada yang berpulang di rumah setelah semalaman berupaya mencari pertolongan intensif ke beberapa rumah sakit, tetapi hasilnya nihil gara-gara semua kamar penuh.Â
Sungguh ironis. Domisili kami dekat dengan sebuah rumah sakit. Mulut utama gang kampung yang berada di tepi jalan  raya, langsung berhadapan dengan sebuah rumah sakit. Eh? Kok ya takdirnya begitu? Kiranya tak berlebihan jika hal tersebut membuat saya agak tertekan.Â
Ingatan Tentang Juli 2021
Begitulah adanya. Ancaman varian Omicron ternyata membuat saya teringat pengalaman buruk pada Juli 2021 lalu. Tatkala itu kasus Covid-19 sedang tinggi-tingginya. Tingkat hunian rumah sakit sangat tinggi.
Dalam sehari, bisa lebih dari 7 kali saya mendengar raungan sirine ambulans. Itu pun dalam posisi di rumah saja sesuai dengan tagar yang digaungkan selama pandemi. Tidak bepergian ke mana-mana. Kalau nekad ke mana-mana, mungkin bakalan ketemu lebih banyak ambulans di jalanan.Â
Apa boleh buat? Semua pengalaman buruk di atas ternyata membuat saya trauma. Walaupun ringan saja kategorinya, harus diakui bahwa saya memang trauma.Â
Itulah sebabnya ketika mendengar tentang ancaman varian Omicron, saya merasa tidak baik-baik saja. Terlebih belakangan, nyaris tiap hari kembali ada raungan sirine ambulans.Â
Memang cuma sehari sekali, tidak semassif Juli lalu, tetapi cukup menerbitkan rasa terintimidasi di hati. Meskipun belum tentu pula, ambulans tersebut membawa jenazah/pasien Covid-19.Â
Beranjak Normalnya Neraka LiburanÂ
Kecemasan saya kian beralasan ketika di depan mata ini kerap tersuguh pemandangan yang bikin prihatin, yaitu  sebagian wisatawan yang berkunjung ke Malioboro dan Titik Nol Yogyakarta ternyata sangat abai terhadap protokol kesehatan.Â
Ada yang tak bermasker. Ada yang bermasker, tetapi maskernya tak dipakai dengan benar. Lalu, terlalu banyak yang berkerumun dan jelas tidak menjaga jarak. Kalaupun ada yang hendak menjaga jarak, tetap akan kesulitan. Terutama kalau berjalan di emperan toko-toko Malioboro di mana PKL aneka suvenir berada.Â
Kebetulan Sabtu malam lalu dalam perjalanan pulang, saya mesti berjalan kaki melintasi bagian selatan Malioboro dan kawasan Titik Nol. Sudah mlipir-mlipir mencari jalan yang agak sunyi, tetap saja di banyak area tak bisa menghindar sama sekali dari kerumunan.Â
Kok ya kebetulan tak terlihat satu petugas pun yang konon disiagakan untuk mengawal penegakan prokes 6M. Kalau ada, minimal 'kan bisa menertibkan pemakaian masker. Mau tak mau kondisi tersebut bikin skeptis. Saya pun makin skeptis ketika tiba di perempatan Titik Nol.Â
Wah! Lumayan kacau balau situasi di situ. Berbagai macam kendaraan bermotor serta becak  dan delman, berebut jalan dengan orang-orang yang hilir mudik menyeberang jalan dari dan akan ke Malioboro.Â
Yang bikin "takjub", bus-bus pariwisata yang besar-besar ikut nimbrung memenuhi jalan. Membuat bertanya-tanya, "Lho? Kok ada bus besar masuk kota? Kabarnya belum boleh?"Â
Alhasil sembari duduk sekian lama di tepi jalan, menunggu saat tepat untuk menyeberang jalan, berulang-ulang saya bergumam, "Neraka kemacetan tatkala liburan telah kembali normal rupanya. Pandemi sudah dilupakan."Â
Perlu diketahui, area jantung kota Yogyakarta itu memang dijuluki "neraka tatkala liburan". Tentu gara-gara macetnya yang enggak ketulungan.
Sebagai warga lokal yang berdomisili mepet Titik Nol Yogyakarta, terjebak kehirukpikukan turisme adalah sebuah keniscayaan. Hanya saja, kehirukpikukan tersebut terasa mencemaskan ketika berlangsung selama pandemi Covid-19 begini.Â
New Normal, Bukan Old NormalÂ
Sepertinya banyak yang salah paham dengan arti new normal, kenormalan baru. Mereka terlalu fokus dengan "normal"-nya dan melupakan "new"-nya. Jadi, pakai masker yang mestinya merupakan salah satu perilaku new normal, cenderung sering diabaikan.
Apa boleh buat? Banyak orang yang menganggap new normal adalah kembalinya era old normal. Dalam arti, kembali normalnya cara kehidupan secara tepat persis seperti sebelum pandemi. Itulah sebabnya ketika jumlah kasus Covid-19 menurun, PPKM dilonggarkan, fenomena abai terhadap prokes 6 M tak terhindarkan.Â
Terlebih sebagian orang masih saja menganggap Covid-19 sebagai hoaks. Fakta berupa sejumlah pasien dan jenazah terkonfirmasi positif Covid-19 dipandang sebagai hasil konspirasi jahat tertentu. Jadi upaya sehat yang paling sederhana pun, yaitu memakai masker dengan benar, cenderung enggan dilakukan.Â
Ancaman Varian Omicron
Ingatan tentang Juli 2021 terkait pandemi. Fakta akhir pekan yang aaamat padaaat di Malioboro dan Titik Nol Yogyakarta, padahal pandemi belum berakhir. Adanya salah kaprah pemahaman terhadap istilah new normal. Fakta bahwa sebagian orang menganggap pandemi ini semata-mata hoaks dan konspirasi jahat.Â
Keempat fakta di atas menyebabkan saya memandang varian virus Corona B.1.1.529 Omicron sebagai momok yang menakutkan. Ada penolakan yang kuat dalam hati ini, jika mesti mengulang fase buruk pandemi sebagaimana yang terjadi pada Juli lalu. Iya. Belum-belum saya sudah kelelahan karenanya.
Syukurlah setelah baca-baca aneka referensi, saya akhirnya paham bahwa varian Omicron tidak lebih berbahaya daripada varian Delta. Yup! Katakanlah bahwa saya telah overthinking.Â
Itulah sebabnya saya kemudian mengerem kecemasan. Tentu tanpa menanggalkan kewaspadaan. Tidak lebih berbahaya tak serta-merta dapat dianggap sebagai angin lalu 'kan?Â
Sejauh yang saya ketahui, varian Omicron telah menyebar ke banyak negara. Huft! Semoga varian yang pertama kali teridentifikasi di Afrika Selatan itu tidak kembali memorakporandakan kehidupan kita di bumi Indonesia ini.Â
Walaupun WHO belum menyimpulkan tingkat keparahan dan penularannya, saya pikir tak ada ruginya kalau kita bersiap memerangi varian Omicron tersebut. Daripada buang-buang waktu untuk denial dan halu, tidak mau mengakui kalau banyak orang yang sakit dan wafat selama pandemi, lebih baik waktu yang ada itu dipakai untuk melakukan upaya-upaya agar tetap sehat lahir batin.
Bukankah ada Covid-19 atau tidak, ada varian Omicron atau tidak, kesehatan merupakan sesuatu yang sangat kita dambakan dan butuhkan?Â
Lebih Baik Lakukan 6 M Daripada Denial
Saya yakin bahwa semua berharap pandemi segera berlalu. Oleh sebab itu, mestinya semua orang (baik yang percaya maupun yang menganggap Covid-19 hoaks) bergerak untuk mengusirnya. Iya. BERGERAK. Tidak sekadar ingin dan berwacana belaka.Â
Caranya sudah jelas sekali, yaitu dengan menaati protokol kesehatan. Prokes 6M. Adapun yang dimaksud 6 M sebagai berikut.
(1) Memakai masker;
(2) Mencuci tangan dengan sabun di air mengalir;
(3) Menjaga jarak;
(4) Menjauhi kerumunan;
(5) Mengurangi mobilitas;
(6) Menghindari makan bersama.
Cukupkah? Tentu belum. Keenam M di atas wajib ditambah dengan vaksinasi dua kali. Jangan lupa pula untuk cukup istirahat dan selalu mengonsumsi makanan bergizi. Tentunya plus memelihara kesehatan batin/mental juga.
Bila telah melakukan semua hal terkait prokes 6M memang tak serta-merta dijamin terhindar sama sekali dari varian Omicron. Akan tetapi, hasil pasti tidak akan mengkhianati proses. Jikalau takdirnya terkonfirmasi varian Omicron, niscaya bakalan cenderung mampu bertahan. Insyaallah begitu. Â
Sudahlah tak perlu berpikiran negatif. Suuzon ada X ada Y di balik pandemi yang bikin PPKM berjilid-jilid ini. Yang terpenting, ayo berusaha sehat lahir dan batin. Toh manfaatnya bakalan kita rasakan sendiri.Â
Yuk, ah. Mari kembali waspada dalam menyikapi kondisi pandemi ini. Mari perketat lagi ketaatan terhadap protokol kesehatan agar tak perlu berjibaku melawan varian Omicron. Minimal, janganlah lupa memakai masker secara baik dan benar.
Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI